Tulisan ini tentang sekolah, namun sama sekali tidak menyinggung ketiga sekolah anak-anak saya. Tulisan ini murni lahir dari pengamatan saya terhadap ekspresi teman-teman sesama wali murid, dimana-mana. Diberbagai sekolah. Ternyata, fenomenanya hampir sama.
Pernah tahu Buku Penghubung? Orang tua jaman sekarang pasti mengetahui dan memiliki buku penghubung. Fungsinya adalah menghubungkan antara guru di sekolah dengan orang tua di rumah. Orang tua tinggal mengecek apa yang ada di buku penghubung, lalu menuliskan kembali jika ada yang perlu disampaikan kepada guru.
Waktu anak saya TK, buku penghubung ini memiliki peran yang sangat berarti. Isinya mirip kartu prestasi, jadi menuliskan apa saja yang dikerjakan anak hari ini. Misalnya, membaca iqro halaman sekian, membaca AISM (Anak Islam Suka Membaca) halaman sekian, menggunting, menempel, tahfidz, dan lain-lain. Ada juga kejadian yang spesial, misalnya anak jatuh, atau tidak mau makan, dilaporkan supaya orang tua bisa tahu.
Beranjak SD, ternyata masih ada buku penghubung. Isinya berubah, entah kalau sekolah lain ya. Isinya menjadi buku dimana ulangan atau PR diinformasikan. Karena tidak mungkin lagi memberi laporan peningkatan prestasi anak harian kalau SD. Kolomnya hanya tanggal, keterangan, paraf orang tua dan paraf guru. Kalau sekolah anak saya, kelas 1 SD masih dituliskan gurunya, namun kelas 2 SD keatas, anak yang menuliskannya di buku.
Jujur, saya tidak pernah membuka buku penghubung anak, kecuali ditunjukkan anak ketika ada pengumuman tertentu. Apakah saya termasuk orang tua yang tidak memperhatikan anak? Baca dulu pendapat saya sebelum menghakimi ya.
Sebelumnya, saya ingin cerita masa kecil saya. Bila sesudah Isya', maka 90% dering telpon adalah untuk saya. Beberapa teman menelpon dan menanyakan apakah tadi ada PR atau tidak. Kenapa saya? karena saya dianggap paling memperhatikan guru hehehehe. Ini terjadi ketika saya SD hingga SMP. Artinya, yang tidak memperhatikan guru tidak akan tahu ada PR atau tidak, kapan ada ulangan, dan lain sebagainya. Pengumuman kalau besok libur disampaikan melalui anak-anak. Kalau tidak memperhatikan, siap-siap besok kecewa, ke sekolah pagi-pagi ternyata gerbang ditutup.
Anak dituntut untuk lebih memperhatiakn guru. Lah jaman sekarang? Tidak memperhatikan guru, tidak apa-apa. Toh nanti kalau ada tugas akan tertulis di buku penghubung. Makanya guru kelas sekarang ada dua, yang satu bagian mencatat di buku-buku anak sekelas. Kalau hanya satu guru, akan habis waktunya untuk mencatat saja, tidak sempat mengajar hehehe..
Di rumah orang tua akan sibuk memantau anaknya untuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Menemani belajar, bahkan orang tuanya lah yang mengerjakan PR. Ada? Ada lah.
Belum lagi, menjelang UTS (Ujian Tengah Semester), UAS (Ujian Akhir Semester), atau UKK (Ujian Kenaikan Kelas). Guru akan sibuk membuat kisi-kisi. Isinya adalah gambaran bab mana saja yang akan menjadi soal-soal dalam ujian yang akan dilalui anak-anak.
Ini aneh menurut saya. Lah bukannya selama dikelas sudah belajar. Yang akan dibuat soal ujian adalah bab-bab yang telah dipelajari. Masa guru masih harus mengetik ulang materi pelajarannya, meringkasnya, lalu anak-anak belajar sesuai kisi-kisi yang telah diberikan. Lalu belajarnya selama ini buat apa?
Orang tua ternyata senang dengan keadaan semacam ini. Realita orang tua instan. Cepat saji. Ini menjadi sebuah tuntutan dan sekolah harus menurutinya.
Masih segar dalam ingatan saya, ketika guru saya dulu memerintahkan anak-anak untuk membuat ringkasan pelajaran di akhir bab yang telah selesai di bahas. Rangkuman tersebut diserahkan guru dan dinilai. Lalu, dikembalikan lagi pada anak. Itulah isi buku catatan saya. Setiap mata pelajaran memiliki buku catatan sendiri. Ketika ada teman yang bertanya pada guru, "Bu, besok test soalnya dari bab yang mana sampai mana?" Maka guru akan tegas menjawab, "Dari apa yang sudah kamu pelajari selama ini bersama saya." Titik. Tidak ada kisi-kisi.
Dan yang membuat soal saat itu adalah pemerintah. Jadi belajarnya tidak terpatri satu buku. Kami belajar kelompok mengerjakan soal-soal dari penerbit lain yang isinya agak berbeda dengan buku dari sekolah. Untuk menambah wawasan.
Padahal saat itu, sekolah itu menyenangkan, tidak setegang sekarang. Padahal lagi, saya sekolah swasta dengan seabrek mata pelajaran agama persis SDIT sekarang ini. Hanya beda di tahfidz nya saja. Tapi kok sempat bermain bersama tetangga. Les tahfidz tambahan dirumah (ini khusus saya kayaknya dan beberapa teman. Tahfidz belum populer saat itu). Sempat mengerjakan aneka permainan jadul yang sesungguhnya menguras tenaga. Diantaranya, kejar-kejaran, betengan, lompat tali, petak umpet, dsb. Juga sering sekali bermain bola bekel, dakon, monopoli, ular tangga, dan aneka permainan anak lainnya.
Anak sekarang lebih padat sekolahnya, tapi lebih instan. Seperti cerita saya tadi, PR dan ulangan sudah disajikan. Ada kisi-kisi ujian. Meski peran belajarnya jadi kurang bermakna menurut saya.
Kalau anak saya, tidak akan saya ingatkan soal PR setiap hari. Paling saya hanya bertanya, "Sudah selesai PRnya?" Tidak saya bantu mengerjakannya, kecuali bila anak bertanya. Tidak saya bantu menata buku sesuai jadwal. Semua dikerjakan sendiri. Kalau lupa mengerjakan, resikonya akan dikerjakan. Namun sekali lupa, besok-besok akan menjadi peringatan untuk dirinya sendiri. Bahwa dihukum itu tidak enak, makanya saya harus mengerjakan tugas saya sebelum saya bermain. Ini akan masuk ke dalam alam bawah sadarnya.
Saya juga tidak menyiapkan seragam sekolahnya. Setelah selesai disetrika, semua pakaian akan masuk ke lemari sesuai tempatnya. Apalagi kaus kaki, sepatu, ikat pinggang, peci, jilbab, dan aksesori lainnya. Anak-anak tidak akan bertanya, dimana kaus kakiku? karena sudah tahu jawabannya pastilah, "Carilah ditempat terakhir kau meletakkannya, atau dimana tempat semestinya." Titik.
Makanya saya sedikit gemes ketika saya harus ke rumah seseorang saat jam sekolah. Saya lihat diatas tempat tidurnya telah tersedia semua keperluannya. Keluar dari kamar mandi, anak menuju tempat tidurnya dan tinggal mengambil apa-apa yang telah disediakan. Instan. Bahkan saat itu, saya diminta menunggu karena sedang menata buku untuk anak tersebut.
Soal makan pun sama. Saya hanya memasak. Selebihnya, ambillah sendiri sesuai kebutuhan. Bila makan bersama di meja makan, tidak ada ceritanya saya mengambilkan nasi untuk anak lalu menuang kuahnya dan mengambilkan lauknya. So sorry, bro.. ambillah sendiri. Itu yang saya ajarkan kepada anak-anak. Semua sudah terhidang, kita semua sama. Tidak ada bos kecil di rumah. Mau lauk yang lain, ingin telur dadar atau tambahan lauk goreng nugget? Buatlah sendiri. Itu minyaknya, itu wajannya. Bahkan kelas 6 SD saya harapkan bisa memasak nasi dan memasak mi instan sendiri.
Apakah tidak boleh membantu anak? Kalau prinsip saya, adalah membantu anak supaya dia bisa melakukannya sendiri. Itu yang penting. Orang tua tidak selamanya ada dan bisa membantu. Karena itulah anak-anak harus dibiasakan mandiri. Sejak kapan? Simpel saja, sesuai yang telah diarahkan oleh Sahabat Nabi Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, bahwa usia anak sebagai raja adalah 0 - 7 tahun. Lalu 7 - 14 tahun adalah usia anak sebagai tawanan perang. Didik dengan segala tanggung jawabnya. Selanjutnya 14 - 21 tahun anak menjadi wazir, atau mentri, atau kepercayaannya. Bagaimana bisa menjadi wazir yang baik kalau tidak dididik dengan tanggung jawab yang semestinya.
Menilik jaman sebelumnya lagi, anak dididik lebih ketat di usia 7-14 tahunnya. Makanya, banyak sekali ilmuwan, panglima perang, ulama yang sukses di usia muda. Ibnu Sina 15 tahun jadi dokter. Imam Syafi'i 17 tahun sudah jadi syaikh mufti yang bisa berfatwa. Al Fatih jadi panglima perang usia 20 tahun dalam kondisi sudah beristri dan memiliki satu anak. Anak sekarang, seusia itu bisa jadi apa? Semakin kompleks masalahnya.
Mudah-mudahan generasi saat ini bisa lebih baik lagi. Semoga saya dan teman-teman semuanya dimudahkan Allah dalam mencetak generasi yang lebih mandiri.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar