Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bunda sekalian, belakangan kita sering menghadapi permasalahan-permasalahan yang melingkupi para remaja kita. Diantara permasalahan yang sering kita dapati terkait dengan remaja adalah seks bebas, penyalahgunaan narkoba, tawuran, geng motor dan perilaku-perilaku negatif lainnya. Seakan-akan kata "kenakalan" dan kata "remaja" menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Betapa berbedanya kenyataan saat ini dengan masa lalu. Di masa lalu, Bung Karno berani mengatakan :
_"Berikan aku 10 pemuda, akan kuguncang dunia"_
Sang proklamator berani menyatakan hal semacam itu, karena pada zaman tersebut para pemuda adalah anasir-anasir positif, konstruktif, kreatif dari bangsa ini.
Kita mengenal sosok sosok seperti HOS Cokroaminoto yang mampu mendirikan Syarikat Islam pada usia 16 tahun. Bung Karno sendiri mampu berpidato secara memukau di depan parlemen Belanda pada saat berusia 21 tahun.
Pada zaman itu pemuda-pemuda berusaha berusia 15 tahun telah menjadi manusia yang sangat mandiri, telah bisa membantu orang tuanya secara ekonomi, dan telah menjadi tonggak-tonggak bagi tegaknya sebuah bangsa.
Dapat dikatakan telah terjadi degradasi yang sedemikian pesat antara kualitas pemuda zaman dulu dengan remaja zaman sekarang.
Pertanyaannya adalah :
*Kenapa itu semua bisa terjadi ???*
Bunda sekalian, itu semua bermula dari akhir abad ke-19, karena sebelum abad ke-19 literatur literatur psikologi belum mengenal remaja. Remaja baru muncul sejak awal abad ke-19, yang ditandai dengan fenomena bahwa mereka sudah bukan anak-anak tapi dewasa pun masih belum.
Dalam bahasa Inggris mereka disebut sebagai adolescence, yang berasal dari bahasa Yunani _adolescere_ yang artinya ada belum dewasa
Dalam bahasa anak kekinian, generasi ini disebut ABG : Anak Baru Gede. Dibilang anak sudah gede, tapi dibilang gede masih anak.
Kenapa lahir generasi remaja sejak lahir abad ke-19 atau awal abad ke-20 ?
Karena sejak saat itu telah muncul satu generasi dimana baligh atau kedewasaan fisiknya tumbuh makin cepat, sementara Aqil atau kedewasaan mentalnya justru makin melambat.
Apa yang menyebabkan hal itu semua terjadi ?
Hal itu semua terjadi karena revolusi industri. Sejak revolusi industri para orang tua telah disibukkan untuk mencari nafkah : 8 jam sehari, 40 jam seminggu, dan 2000 jam setahun. Tak ada waktu lagi untuk mendidik anak-anak, sehingga anak-anak dititipkan ke institusi yang bernama sekolah.
Institusi sekolah memang mampu untuk mendidik pengetahuan dan keterampilan, tapi tak mampu untuk mendidik karakter. Yang mampu mendidik karakter adalah orang tuanya di rumah.
Itulah sebabnya kemudian lahir generasi yang secara karakter semakin melemah dari waktu ke waktu. Kedewasaan mental alias aqil menjadi semakin tertunda dan tertunda.
Di sisi lain, ketidakhadiran orang tua dalam mendidik anak-anaknya, yang disebabkan oleh kesibukan pekerjaan, telah menyebabkan mereka menutupi rasa bersalahnya lewat makanan berlebihan. Akibatnya anak-anak itu menjadi over nutrisi : over karbohidrat, over protein, over lemak, over vitamin dsb. Sehingga dengan demikian kedewasaan fisiknya pun terstimulasi semakin lama semakin cepat.
Alhasil di saat kedewasaan mental alias Aqil melambat, kedewasaan fisik justru semakin lama semakin cepat. Lalu lahirlah generasi yang dewasa fisik tak dewasa mental. Dan mereka disebut sebagai remaja. Istilah remaja sendiri dalam perbendaharaan kata Indonesia baru muncul di tahun 60-an.
Nah Bunda sekalian, jika kita terus-menerus membiarkan bahkan membenarkan hal ini berlarut-larut, kita akan menghadapi malapetaka generasi yang luar biasa. Dalam waktu yang tak lama lagi akan lahir generasi dimana hawa nafsunya begitu bergejolak, sementara akal sebagai alat pengendali hawa nafsu itu belum terbentuk, dan sama sekali belum matang.
Lalu, apa yang harus dilakukan oleh para orang tua agar musibah kemanusiaan yang bernama remaja ini dapat kita akhiri sesegera mungkin ?
Pertama pendidikan Harus dikembalikan ke rumah. Rumah adalah tempat mendidik, sedangkan sekolah adalah tempat mengajar. Rumah adalah institusi pertama dan utama dalam pendidikan anak-anak kita, sedangkan sekolah adalah institusi yang membantu kita dalam mendidik anak-anak kita, khususnya pengetahuan dan keterampilan.
Kedua, didiklah anak-anak kita di kehidupan nyata, karena hanya kehidupan yang akan mendewasakannya, yang menguatkannya, yang membuatnya tangguh, yang membuatnya mandiri, yang membuatnya berdaya juang, yang membuatnya mampu berpikir, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan.
Ketiga, pendidikan yang berani dan tega, pendidikan yang dengan tegas konsisten tak dihanyutkan oleh rasa kasihan yang berlebihan, dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip pendidikan menuju kemandirian dan kedewasaan. Tega tak sama dengan kejam. Tega justru berangkat dari kasih sayang.
Kemudian yang ketiga, didiklah anak-anak kita sejak berusia 7 tahun untuk bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri . Tegakkan prinsip "tangan mencencang bahu memikul". saat dia berusia 7 sampai 10 tahun, didik dia untuk bertanggung jawab secara pribadi. Pada saat dia berusia 10 sampai 12 tahun, didik dia untuk bertanggung jawab secara sosial.
Yang keempat, ajari anak-anak kita menalar, berpikir, memecahkan masalah, mengambil keputusan dan memikul resiko atas keputusan yang ia buat.
Kemampuan untuk memecahkan masalah selain akan mematangkan dan mendewasakan anak-anak kita, ia pun mampu menekan baligh yang terlalu cepat. Jangan pernah menganggap anak kita terlalu kecil untuk memikul masalah di usia 7 tahun. Rasa kasihan yang berlebihan itu yang menyebabkan dia tidak kunjung dewasa.
Yang kelima, ajari anak-anak kita berorganisasi, karena dalam organisasi Terdapat banyak hal yang mereka butuhkan untuk hidup. Dalam organisasi ada kepemimpinan, ada manajemen, ada kerjasama, ada komunikasi ada pengelolaan konflik dan seterusnya.
Kemudian yang keenam, didik anak kita, khususnya laki-laki, untuk belajar mencari nafkah. Mencari nafkah adalah upaya yang sangat efektif untuk mematangkan dan mendewasakan anak-anak kita. Seberapa pun kayanya kita, seberapapun mapannya kita, tetap didik anak-anak kita mampu memenuhi kebutuhan ekonominya sendiri
Dan yang terakhir, yang ketujuh, kembalikan peran ayah dalam pendidikan anak-anaknya. Anak yang terlalu cepat baligh itu memang kesalahan dari Bunda yang overnutrisi terhadap anak-anaknya. Namun aqil yang terlambat itu disebabkan oleh tak hadirnya ayah dalam pendidikan anak. Padahal Islam penanggung jawab utama dan pelaku utama dalam pendidikan anak adalah ayahnya. sedangkan Bunda adalah pelaksana hariannya. ✅
Tidak ada komentar:
Posting Komentar