Minggu, 03 Maret 2019

Dakwah Pada Anak

2019/03/04 04:15

Bercerita dengan Kak Farhad tentang keinginanku mengelola sebuah sekolah. Apa kurang sibuk ya kok sampai mencari kegiatan baru? Hihihi.. tapi ini passion saya.

Saya berharap, kalau Abah wakaf tanah, tanahnya buat sekolah. Saya mau buat sekolah full donasi. Artinya, ya memang biayanya semua dari donasi, bukan dari siswanya. Alias, ini sekolah gratis buat anak-anak tidak mampu.

Kak Farhad tertegun mendengar ceritaku. Katanya, sekian puluh tahun yang lalu, ada seorang kaya raya yang memiliki tanah luas dimana-mana. Sebelum meninggal, ia berwasiat dalam selembar kertas, bahwa salah satu tanahnya yang luasnya kurang lebih seribu dua ratus meter persegi, diwakafkan untuk masjid dan sekolah.

Sayangnya, anak-anaknya berkhianat. Mereka tidak membagi warisan dengan baik. Bahkan, tanah yang harusnya diwakafkan, malah dijual. Ngerinya lagi, yang membeli adalah orang syiah. Seribu dua ratus meter persegi. Sayang sekali.

Luar biasa, kata saya. Bukankah orang kaya tersebut adalah orang yang faqih dalam agama? Terdengar, beliau hafal sebagian Al Qur'an, dan memiliki hobi membaca kitab berbahasa arab. Terkenal santun, mencintai suadara-saudaranya. Bila ada pemuda berniat menikah, maka orang ini akan memberinya sejumlah besar uang untuk membantu.

Satu kesalahannya. Beliau tidak mengajak anak-anaknya untuk menjadi sholih bersamanya. Ini kesimpulan saya. Beliau tidak berdakwah pada anak-anaknya sejak belia. Bahkan anak laki-laki satu-satunya menyukai paham komunis. Tidak percaya adanya Robb, tidak juga sholat lima waktu.

Maka ketika orang kaya tadi meninggal, hartanya diperebutkan oleh anak-anaknya dengan cara yang tidak baik. Bahkan ada satu anaknya yang sama sekali tidak diberi warisannya. Mengerikannya lagi, yang diwasiatkan agar diwakafkan, malah dijual.

Saya juga teringat ada orang kaya kedua, yang akan saya ceritakan. Tanahnya juga dimana-mana, pabriknya juga banyak dan maju. Membeli rumah mewah untuk keluarga kecilnya dengan tiga anak perempuan.

Sang anak kedua, memiliki hobi ikut klab malam. Sang anak ketiga, ikut olahraga dengan pakaian semi telanjang. Anak pertama entah. Saya tidak terlalu mengikuti berita sebenarnya. Ketiganya sangat cantik menawan.

Saya menangisi ayahnya, yang bertaubat di hari tuanya. Betapa beliau memuji-muji saya dan mengatakan, bahwa penyesalannya seolah tak berujung tidak mendidik anak-anaknya.

Kabar terakhir, cucu-cucunya beberapa masuk ke pondok pesantren. Mudah-mudahan itu adalah jalan hidayah untuk anak-anak orang kaya tadi, sebagai hasil doa dan penyesalan serta taubat nasuha dari ayahnya sebelum meninggal.

Pelajaran berharga bagi saya, bahwa hidup ini harus berdakwah. Dan utamanya adalah berdakwah kepada anak-anak terlebih dahulu, karena anak akan dimintai pertanggungjawaban utama di akherat.

Anak merupakan ujian. Anak merupakan fitnah. Maka kemuliaan besar bagi yang berhasil mendidik anak, dan kehinaan besar bagi yang anaknya gagal terdidik.

Ah, saya jadi teringat abah.

Abah dulu banyak dicemooh manusia karena memasukkan anak-anaknya ke pondok pesantren. Karena abah tidak memiliki televisi di rumah. Karena abah membuat pengajian di rumah. Karena abah terkenal 'kaku' dalam beragama.

Tapi saat ini banyak yang meniru jejak abah. Dulu ada yang hobi mencemooh abah, Alhamdulillah sekarang aktif di majelis ta'lim. Dakwah abah tidak hanya sukses ke keluarga, tapi memberi banyak pengaruh ke masyarakat. Yang melihat anak-anak abah sukses berdagang, dan jadi ustadz. Mereka juga ingin anak-anaknya selamat dunia akherat dengan agama. Alhamdulillah bini'matihi tatimmus sholihat.

Semoga anak-anak orang kaya yang saya ceritakan dari awal tadi mendapat hidayah, karena hidayah itu kan rahasia Allah. Siapa tahu di akhir hayat mereka mendapatkannya.

Dan semoga Allah mencatat niat saya mengelola sekolah full donasi sebagai amal baik, dan bila Allah berkehendak, maka apa sih yang bisa menolaknya. Ini mimpi saya. Dan saya yakin Allah atas segala sesuatu Maha Kuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar