Oleh M.Dedy Vansophi
Jauh-jauh hari aku sebenarnya sudah merencanakan membeli beberapa pasang meja kursi antik dari kawan di Yogja. Kayunya sudah rastik, pliturnyapun sudah pada mbladus, pokoknya furniture yang sering kita lihat di rumah simbah-simbah zaman dulu. Cocok dan jodoh betul untuk leyeh-leyeh dengan atmosfir masa silam. Kawanku sudah menyanggupi dan sudah menemukan barangnya. Namun, tanpa kuketahui, di Desa, Bapak membeli dua batang pohon Anggrung. Pohon itu milik desa yang ditebang karena akan dilalui proyek pengairan.
Bapak menunjukannya padaku ketika pohon itu sudah menjelma menjadi dua pangkon meja kursi. Kami menyebutnya kursi gajah. Disebut begitu karena memang bentuknya sangat gemuk, kaki-kakinya seperti kaki gajah yang terkena beri-beri. Kalau jempol kaki Anda sedang cantengen jangan coba-coba mendekat. Sekali senggol, koit sajalah. Adapun finishing-nya menggunakan amplas dan plitur kelas satu, mengkilat seperti habis ketumpahan minyak goreng dua belas jeriken.
“Nih, katanya lagi nyari meja kursi. Ini kayunya super, desainnya mewah, pernisnya top. Kamu nggak usah repot-repot beli di Jogja,” kata Bapak bangga.
Semua yang Bapak katakan soal meja kursi ini bertolak belakang dengan rencanaku. Benar-benar tidak masuk seleraku. Apalagi soal harga pembuatan, kalau dihitung-hitung jauh di atas harga yang akan kubeli di Jogja.
Tadinya akan kukatakan semua itu apa adanya, namun urung begitu melihat sarung yang Bapak pakai.
Sarung itu aku yang membelikan di sebuah pasar kerajinan Lombok. Saat itu merupakan perjalanan pertamaku ke pulau itu. Sarung itu begitu menarik perhatianku karena memiliki corak yang berbeda dari kain-kain yang terpajang. Aku bayangkan Bapak sangat berkharisma dengan sarung itu. Maka ia kubeli dengan harga empat ratus ribu (termasuk cukup mahal pada saat itu, karena harga teh botol masih enam ratus rupiah)
Benar kataku, sarung itu sangatlah berpamor dipakai Bapak. Tak pernah kusaksikan Bapak mengenakan sarung itu kecuali dalam keadaan sumringah dan bangga. Kata Ibu, sarung itu hanya digunakan pada saat-saat istimewa, di antaranya sholat Ied, bertemu kyai dan pinisepuh, dan tentu saja saat aku pulang kampung. Saat itu aku merasa menjadi anak yang paling berbudi, bisa memberikan kesenangan dan kebanggaan pada Bapak.
Kira-kira lima tahun kemudian, tak sengaja aku melihat Kyai Bukhori mengenakan sarung yang sama dengan Bapak. Kutanyakan pada Ibu, apakah sarung itu pemberian Bapak? Kalau iya, tak mengapa, aku akan membelikan Bapak yang baru. (Padahal dalam hati aku menyesal kok sarung pemberianku diberikan pada orang lain, walau orang itu adalah Kyai Bukhori yang kuhormati).
Ternyata bukan. Kyai Bukori mengenakan sarung bikinannya sendiri.
“Kyai Bukhori kan memang tukang tenun. Beberapa hasilnya dijual juragannya ke berbagai daerah seperti Solo, Jogja, Bali, termasuk Lombok. Jadi sarung yang kamu beli di Lombok itu bikinan tangan Kyai Bukhori. Kalau beli langsung di sini cuma enam puluh lima ribu.” Ibu menjelaskan dengan hati-hati.
“Tapi Bapakmu melarang menceritakan ini. Katanya, jangan melukai kebanggaan anak yang ingin membanggakan orang tuanya.”
Seketika aku takluk pada kebijaksanaan Bapak dalam menjaga perasaan anaknya, supaya usaha sang anak tak nampak bodoh dan sia-sia. Selama lima tahun ia tutupi, dan, seandainya hari itu aku tak melihat Kyai Bukhori mengenakan sarung yang sama, niscaya kebodohan anaknya ini akan ia tutup seumur hidup dengan senyum penuh kebanggaan.
“Piye? Apik ora kursine? Kowe seneng ora?” tanya Bapak membuyarkan lamunanku.
Kupandangi lelaki ini. Lelaki yang sudah tak punya istri untuk menghibur dan menyanjungnya lagi. Lelaki yang kehilangan putri yang selalu membanggakannya. Kini yang ia punya hanya aku. Satu-satunya yang bisa menyanjung dan membanggakannya sekarang.
Maka kuelus-elus kursi gajah itu dari pagi sampai sore.
“Keren banget, Pak. Sudah jarang kursi begini. Harganya juga murah banget. Pokoke josss,” kata seorang anak pendusta pada seorang ayah yang juga pendusta. Dua lelaki pendusta yang saling menyayangi dan membanggakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar