Haramnya Musik
Ajaran-Ajaran Imam Syafi’i Yang Ditinggalkan Oleh Sebagian Pengikutnya
HARAMNYA MUSIK

Merupakan perkara yang menyedihkan tatkala kita menyaksikan sebagian
dai yang mengaku mengikuti madzhab syafi’iyah ternyata menggunakan musik
dalam beribadah…, jadilah shalawatan disertai senandung musik…irama
gambus islami…kasihadahan islami…
Lebih memilukan lagi bahwa ada di antara mereka yang berdakwah dengan menggunakan alat musik….
Padahal ini merupakan bentuk bertasyabbuh (meniru-niru) kaum nasrani
dalam tata cara peribadatan mereka di gereja-gereja mereka. Jika
bertasyabbuh dalam perkara adat dan tradisi mereka merupakan perkara
yang dibenci lantas bagaimana lagi halnya jika bertasyabbuh dalam
perkara ibadah mereka??
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنَ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang bertasyabbuh (meniru-niru) suatu kaum maka ia termasuk dari mereka”
Maka sungguh teriris hati ini tatkala membaca slogan “Nada dan
Dakwah”??, bagaimana bisa digabungkan antara halal dan haram?? dicampur
adukan antara kebenaran dan kebatilan??
Allah berfirman:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil” (QS Al-Baqoroh : 42)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tegas mengharamkan musik dalam sabdanya :
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفِ
“Sungguh akan ada dari umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, kain
sutra (bagi lelaki), khomer (segala sesuatu yang memabukkan), dan
alat-alat musik” (HR Al-Bukhari)
Pengharaman musik pada hadits ini dari dua sisi :
Pertama : Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam يَسْتَحِلُّوْنَ
”menghalalkan”. Ini menunjukkan bahwa hukum alat-alat musik adalah
haram, namun akan ada kaum dari umat ini yang akan menghalalkannya
Kedua : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan alat-alat
musik dengan perkara-perkara yang sangat jelas haram berdasarkan ijmak
ulama, yaitu zina, kain sutra (bagi lelaki), dan khomr.
Hadits
ini tidak diragukan lagi akan keshahihannya, karenanya para imam hadits
telah menyatakan shahihnya hadits ini. Diantara mereka adalah
(1)
Al-Imam Al-Bukhari yang telah memasukkan hadits ini dalam kitab
shahihnya dalam bab yang beliau beri judul ((بَابُ مَا جَاءَ فِيْمَنْ
يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيْهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ)) “Bab tentang
orang yang menghalalkan khomer dan menamakannya dengan selain namanya”.
Lalu imam Al-Bukhari berdalil dengan hadits ini.
(2) Al-Imam Abu Bakr
Al-Ismaa’iliy, beliau telah memasukan hadits ini dalam kitabnya
al-Mustakhroj ‘ala Shahih Al-Bukhari,
(3) Ibnu Hibbaan yang juga telah
meriwayatkan hadits ini dalam shahihnya,
(4) Al-Haafizh Ibnu As-Sholaah
telah menshahihkan hadits ini dalam kitabnya “Uluumul Hadiits”,
(5)
Badruddin Ibnu Jama’ah juga menshahihkan hadits ini dalam kitabnya
“Al-Manhal Ar-Rowiyy fi Mukhtashor Uluum al-Hadits an-Nabawiy,
(6)
Al-Haafiz Ibnu Katsiir dalam kitabnya Ikhtishoor Uluumil Hadiits,
(7)
Ibnul Mulaqqin dalam kitabnya “Al-Muqni’ fi Uluumil Hadits”,
(8)
Zainuddiin Al-’Irooqi dalam kitabnya “Syarh at-Tabshiroh wa
at-Tadzkiroh”,
(9) Badruddiin al-’Ainiy dalam kitabnya “Umdatul Qoori
Syarh Shahih al-Bukhari”,
(10) Ibnu Hajr al-’Asqolaaniy dalam kitabnya
“Taghliiq at-Ta’liiq”,
(11) Ibnul Waziir dalam kitabnya “Tanqiihul
Andzoor”,
(12) As-Sakhoowiy dalam kitabnya “Fathul Mughiits Syarh
Alfiyatil hadiits”,
(13) Ahmad Syaakir dalam kitabnya Al-Baa’its
Al-Hatsiits Syarh Ikhtishoor ‘Uluumil Hadiits,
(14) Al-Albaani dalam
kitabnya “Tahriim Aalat at-Thorb”,
(15) Syu’aib Al-Arnauuth dalam
tahqiqnya terhadap Shahih Ibni Hibbaan. (Silahkan lihat kitab Ar-Rod
‘Ala Al-Qordhoowi wa Al-Judai’ hal 210-214)
Berikut nukilan perkataan para ulama syafi’iyah tentang haramnya musik
(1) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –dalam bab washiat- berkata:
وَإِنْ كان لَا يَصْلُحُ إلَّا لِلضَّرْبِ بَطَلَتْ عِنْدِي الْوَصِيَّةُ وَهَكَذَا الْقَوْلُ في الْمَزَامِيرِ كُلِّهَا
“Jika al-uud (kayu yang dimaksud oleh pewasiat) tidak bisa digunakan
kecuali untuk dimainkan (semacam gitar-pen) maka wasiatnya batal
menurutku. Demikian juga pembicaraan mengenai seluruh jenis seluring
(alat musik)” (Al-Umm 4/92)
Sangat jelas bahwa Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah mengharamkan seseorang yang berwasiat untuk
memberikan al-’uud (kayu) yang ia miliki kepada orang lain, jika yang
dimaksud dengan al-’uud tidak ada selain kayu yang bersenar (gitar).
Adapun jika sang pewasiat ternyata memiliki jenis al-uud yang lain,
seperti busur panah dan tongkat maka washiat yang dijalankan hanyalah
pada busur dan tongkat untuk diberikan kepada orang lain tersebut.
Imam Asy-Syafi’i juga menegaskan bahwa hukum haramnya washiat ini juga berlaku pada seluruh jenis mizmar (alat musik/seruling).
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata –tentang hukum potong tangan bagi pencuri-:
فَكُلُّ ما له ثَمَنٌ هَكَذَا يُقْطَعُ فيه إذَا بَلَغَ قِيمَتُهُ رُبُعَ
دِينَارٍ مُصْحَفًا كان أو سَيْفًا أو غَيْرَهُ مِمَّا يَحِلُّ ثَمَنُهُ
فَإِنْ سَرَقَ خَمْرًا أو خِنْزِيرًا لم يُقْطَعْ لِأَنَّ هذا حَرَامُ
الثَّمَنِ وَلَا يُقْطَعُ في ثَمَنِ الطُّنْبُورِ وَلَا الْمِزْمَارِ
“Maka segala barang yang berharga menyebabkan dipotong tangan sang
pencuri jika harga barang tersebut mencapai seperempat dinar. Barang
tersebut baik mushaf (al-Qur’an) atau pedang atau yang lainnya yang
hasil penjualannya halal. Jika ia mencuri khomr atau babi maka tidaklah
dipotong tangannya karena hasil penjualan khomr dan babi adalah haram.
Dan juga tidak dipotong tangan sang pencuri jika mencuri tunbur
(kecapi/rebab) dan mizmar (seruling)” (Al-Umm 6/147)
Sangat
jelas bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i menyamakan hukum alat musik sama seperti
hukum khomr, sama-sama haram, dan tidak halal hasil penjualannya,
karenanya jika ada pencuri yang mencuri barang-barang haram ini maka
tidaklah dipotong tangannya.
Al-Imam Asy-Syafi’i juga berkata (tentang hukum di antara orang-orang kafir ahli al-jizyah):
وَلَوْ كَسَرَ له طُنْبُورًا أو مِزْمَارًا أو كَبَرًا … وَإِنْ لم يَكُنْ
يَصْلُحُ إلَّا لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عليه وَهَكَذَا لو كَسَرَهَا
نَصْرَانِيٌّ لِمُسْلِمٍ أو نَصْرَانِيٌّ أو يَهُودِيٌّ أو مُسْتَأْمَنٌ أو
كَسَرَهَا مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ من هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذلك كُلَّهُ
“Kalau seandainya ia menghancurkan kecapi atau seruling atau gendang
maka…. jika benda-benda ini tidak bisa digunakan kecuali sebagai alat
musik maka tidak ada sesuatu yang harus ia ganti rugi. Dan demikian pula
jika seorang muslim yang merusak (kecapi dan seruling) milik seorang
muslim atau yang merusak adalah orang nasrani atau orang yahudi atau
orang kafir musta’man, atau orang muslim yang lain yang telah merusak
salah satu dari benda-benda tersebut maka aku anggap semuanya batil
(tidak perlu diganti rugi-pen)”(Al-Umm 4/212)
Lihatlah… bahkan
menurut Imam Syafi’i jika yang melakukan pengrusakan adalah seorang yang
kafir terhadap alat-alat musik milik seorang muslim maka sang kafir
tidak perlu menanggung biaya ganti rugi.
Dalam kitab Az-Zawaajir
وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ
“Dan telah diketahui tanpa keraguan bahwasanya Imam Asy-Syafi’i
radhiallahu ‘anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik” (Az-Zawaajir
‘an iqtiroofil kabaair 2/907)
(2) Abul Ma’aali Al-Juwaini rahimahullah, beliau berkata :
والبداية في هذا الفن بتحريم المعازف والأوتار، وكلها حرام، وهي ذرائع إلى كبائر الذنوب
“Permulaan dalam pembahasan ini adalah dengan mengharamkan alat-alat
musik dan senar-senar, dan semuanya adalah haram, dan merupakan dzari’ah
(yang mengantarkan) kepada dosa-dosa besar” (Nihaayatul Mathlab bi
Dirooyatil Madzhab 19/22)
(3) Abu Hamid Al-Ghozzali rahimahullah, beliau berkata :
الرابعة المعازف والأوتار حرام لأنها تشوق إلى الشرب وهو شعار الشرب فحرم
التشبه بهم وأما الدف إن لم يكن فيه جلاجل فهو حلال ضرب في بيت رسول الله
صلى الله عليه وسلم وإن كان فيه جلاجل فوجهان
“Keempat :
Alat-alat musik dan senar-senar adalah haram, karena menimbulkan hasrat
untuk meminum (minuman haram), dan ini adalah syi’arnya para peminum
khomr, maka diharamkan meniru-niru mereka. Adapun duff (rebana) maka
jika tidak ada lonceng-lonceng kecilnya maka halal, telah diketuk di
rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”, adapun jika ada
lonceng-loncengnya maka ada dua pendapat” (Al-Washiith 7/350)
(4) Imam An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata :
القسم الثاني أن يغني ببعض آلات الغناء مما هو من شعار شاربي الخمر وهو
مطرب كالطنبور والعود والصنج وسائر المعازف والأوتار يحرم استعماله
واستماعه … قلت الأصح أو الصحيح تحريم اليراع وهو هذه الزمارة التي يقال
لها الشبابة وقد صنف الإمام أبو القاسم الدولعي كتابا في تحريم اليراع
“Bagian kedua, yaitu bernyanyi dengan menggunakan alat-alat nyanyian
yang merupakan syi’ar-nya para peminum khomr, yaitu alat musik seperti
kecapi/rebab, gitar, shonj (yaitu dua piringan logam yang saling
dibenturkan sehingga menimbulkan suara (lihat al-mu’jam
al-washith)-pen), dan seluruh alat-alat musik, serta senar-senar,
diharamkan penggunaannya dan mendengarkannya….
Dan yang benar
adalah diharamkannya al-yaroo’ (semacam seruling) dan inilah yang
disebut dengan asy-Syabbabah. Al-Imam Abul Qoosim Ad-Daula’i telah
menulis sebuah kitab tentang pengharaman al-Yaroo’” (Roudotut
Thoolibiin 11/228)
(5) Syaikhul Islaam Zakariyaa Al-Anshoori, beliau berkata :
وَيُسَنُّ الْجُلُوسُ في حِلَقِ الْقِرَاءَةِ وَأَمَّا الْغِنَاءُ على
الْآلَةِ الْمُطْرِبَةِ كَالطُّنْبُورِ وَالْعُودِ وَسَائِرٍ الْمَعَازِفِ
أَيْ الْمَلَاهِي وَالْأَوْتَارِ وما يُضْرَبُ بِهِ وَالْمِزْمَارِ
الْعِرَاقِيِّ وهو الذي يُضْرَبُ بِهِ مع الْأَوْتَارِ وَكَذَا الْيَرَاعُ
وهو الشَّبَّابَةُ فَحَرَامٌ اسْتِعْمَالُهُ وَاسْتِمَاعُهُ وَكَمَا
يَحْرُمُ ذلك يَحْرُمُ اسْتِعْمَالُ هذه الْآلَاتِ وَاِتِّخَاذُهَا
لِأَنَّهَا من شِعَارِ الشَّرَبَةِ”
“Disunnahkan duduk dalam
halaqoh qiroah (membaca al-qur’an). Adapun nyanyian dengan menggunakan
alat-alat musik seperti Thunbur (semacam kecapi/rebab) dan al-uud
(gitar) dan seluruh alat-alat musik, yaitu alat-alat musik dan
senar-senar, dan apa yang dipukul-pukul serta seruling Iraq, yaitu yang
dipukul-pukul dengan disertai senar, demikian pula yaroo’ yaitu seruling
maka hukumnya haram digunakan dan didengarkan. Sebagaimana diharamkan
hal itu maka diharamkan pula memainkan alat-alat ini dan menggunakannya
karena alat-alat ini merupakan syi’arnya para peminum minuman haram”
(Asna Al-Mathoolib fi syarh Roud At-Thoolin, 4/344-345)
(6) As-Subki rahimahullah, beliau berkata ;
السماع على الصورة المعهودة منكر وضلالة وهو من أفعال الجهلة والشياطين
ومن زعم أن ذلك قربة فقد كذب وافترى على الله ومن قال إنه يزيد في الذوق
فهو جاهل أو شيطان ومن نسب السماع إلى رسول الله يؤدب أدبا شديدا ويدخل في
زمرة الكاذبين عليه صلى الله عليه وسلم ومن كذب عليه متعمدا فليتبوأ مقعده
من النار وليس هذا طريقة أولياء الله تعالى وحزبه وأتباع رسول الله صلى
الله عليه وسلم بل طريقة أهل اللهو واللعب والباطل وينكر على هذا باللسان
واليد والقلب. ومن قال من العلماء بإباحة السماع فذاك حيث لا يجتمع فيه دف
وشبابة ولا رجال ونساء ولا من يحرم النظر إليه
“As-Samaa’
(mendengarkan nyanyian yang terkadang disertai sebagian alat musik
dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah karena bisa menenteramkan
hati-pen) dengan model yang dikenal adalah kemungkaran dan kesesatan. Ia
merupakan perbuatan orang-orang jahil dan para syaitan. Barang siapa
yang menyangka bahwa hal ini adalah qurbah (ibadah yang mendekatkan
kepada Allah-pen) maka ia telah berdusta atas nama Allah. Barang siapa
yang mengatakan bahwa perbuatan ini menambah rasa maka ia adalah seorang
yang jahil atau syaithon. Barang siapa yang menyandarkan perbuatan ini
(as-Samaa’) kepada Rasulullah maka hendaknya ia diberi pelajaran yang
keras, dan ia masuk dalam golongan para pendusta atas nama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi bersabda “Barang siapa yang berdusta
atasku dengan sengaja maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”. Ini
(as-Samaa’) bukanlah toriqohnya (jalannya) para wali-wali Allah,
bukanlah golongan pengikut Allah serta bukan jalan para pengikut
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan ini merupakan jalannya
para tukang lalai dan bermain-main serta ahlul batil. Hendaknya hal ini
diingkari dengan lisan, tangan, dan hati. Jika ada di antara para ulama
yang menyatakan bolehnya as-samaa’ maka hal itu jika tidak disertai
dengan rebana, seruling, ikhtilat lelaki dan perempuan, serta orang yang
haram untuk dipandang” (sebagaimana dinukil oleh Asy-Syarbini di Mughny
al-Muhtaaj 4/429)
(7) Ar-Romli rahimahullah, beliau berkata:
قوله (وسائر المعازف) لخبر البخاري ليكونن في أمتي أقوام يستحلون الحر
والخمر والحرير والمعازف ولأنها تدعو إلى شرب الخمر لا سيما من قرب عهده به
ولأن التشبه بأهل المعاصي حرام ومن المعازف الرباب والجنك والكمنجة
قوله (وكذا اليراع) والعجب كل العجب ممن هو من أهل العلم ويزعم أن الشبابة
حلال ويحكيه وجها في مذهب الشافعي ولا أصل له وقد علم أن الشافعي وأصحابه
قالوا بحرمة سائر أنواع المزامير والشبابة منها بل هي أحق من غيرها
بالتحريم فقد قال القرطبي إنها من أعلى المزامير وكل ما لأجله حرمت
المزامير موجود فيها وزيادة فتكون أولى بالتحريم قلت وما قاله حق واضح
والمنازعة فيه مكابرة
“Dan perkataan beliau (Syaikhul Islam Zakariya
Al-Anshoori) : ((Dan seluruh alat-alat musik hukumnya haram))
dikarenakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam) “Akan ada pada umatku kaum-kaum yang
menghalalkan zina, khomr, kain sutra, dan alat-alat musik“. Dan juga
karena alat-alat musik mengajak (menjerumuskan) kepada minum khomr,
terlebih lagi orang yang baru saja bertaubat dari minum khomr. Dan juga
karena bertasyabbuh (meniru-niru) para pelaku kemaksiatan.
Diantara alat-alat musik adalah rebab, jank (semacam gitar, silahkan
lihat Taajul ‘Aruus 27/100-pen), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu
berbentuk busr dengan empat senar, silahkan lihat al-mu’jam al-washith
2/799-pen).
Dan perkataan beliau ((Demikian juga diharamkan al-yaroo)).
Yang sangat mengherankan adalah orang yang termasuk ahlul ilmi (ulama)
akan tetapi menyangka bahwasanya asy-syabaabah (semacam seruling) adalah
halal lalu menyatakan ini salah satu pendapat dalam madzhab syafi’iyah.
Padahal pendapat ini tidak ada asalnya, padahal telah diketahui
bahwasanya Imam Asy-Syafi’i dan para sahabatnya menyatakan haramnya
seluruh jenis seruling, dan asy-syabaabah jelas termasuk jenis-jenis
seruling, bahkan ia lebih pantas untuk diharamkan dari pada seruling
yang lain. Al-Qurthubi berkata : “Asy-Syabaabah adalah model seruling
yang paling top. Dan seluruh perkara yang menyebabkan diharamkannya
seruling-seruling terdapat pada asy-Syabaabah bahkan lebih dari pada
itu, sehingga Asy-Syabaabah lebih utama untuk diharamkan”
Apa yang dikatakan oleh Al-Qurthubi adalah benar, dan sikap menyelisihi hal ini adalah kesombongan” (Haasyiat Romly, 4/344-345)
(8) Asy-Syarbini rahimahullah, beliau berkata :
( ويحرم استعمال ) أو اتخاذ ( آلة من شعار الشربة ) جمع شارب وهم القوم
المجتمعون على الشراب الحرام واستعمال الآلة هو الضرب بها ( كطنبور ) بضم
الطاء ويقال الطنبار ( وعود وصنج ) وهو كما قال الجوهري صفر يضرب بعضها على
بعض وتسمى الصفاقتين لأنهما من عادة المخنثين ( ومزمار عراقي ) بكسر الميم
وهو ما يضرب به مع الأوتار.
( و ) يحرم ( استماعها ) أي الآلة
المذكورة لأنه يطرب ولقوله صلى الله عليه وسلم ليكونن من أمتي أقوام
يستحلون الخز والحرير والمعازف …
“Dan diharamkan memainkan atau
menggunakan alat yang merupakan syi’arnya para peminum…, yaitu kaum yang
berkumpul untuk meminum minuman haram. Dan memainkan alat yaitu
memukulnya seperti thunbur (kecapi), ‘uud (semacam gitar) dan shonj
–sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Jauhari- yaitu dua piringan tembaga
yang saling dibenturkan sehingga menimbulkan suara, dan dinamakan juga
as-soffaaqotaini, karena keduanya merupakan tradisi orang-orang banci.
Dan juga mizmar irooqi, yaitu seruling yang dimainkan dengan
senar-senar.
Dan diharamkan mendengarkan alat-alat tersebut
karena membuat melayang dan karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam “Akan ada dari umatku kaum-kaum yang menghalalkan zina, kain
sutra, dan alat-alat musik”.(Mughny al-Muhtaaj 4/429)
(9) Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah, dalam kitab beliau Az-Zawaajir :
وَقَدْ عُلِمَ مِنْ غَيْرِ شَكٍّ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ حَرَّمَ سَائِرَ أَنْوَاعِ الزَّمْرِ…وَمَا حُرِّمَتْ هَذِهِ
الْأَشْيَاءُ لِأَسْمَائِهَا وَأَلْقَابِهَا ، بَلْ لِمَا فِيهَا مِنْ
الصَّدِّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ وَمُفَارَقَةِ التَّقْوَى
وَالْمَيْلِ إلَى الْهَوَى وَالِانْغِمَاسِ فِي الْمَعَاصِي
“Dan
telah diketahui –tanpa diragukan lagi- bahwasanya Al-Imam Asy-Syafi’i
radhiallahu ‘anhu mengharamkan seluruh jenis alat musik… dan tidaklah
diharamkan perkara-perkara ini (alat-alat musik-pen) dikarenakan
nama-namanya, akan tetapi karena pada alat-alat musik menghalangi dari
mengingat Allah dan sholat, serta pemisahan dari ketakwaan dan
kecondongan kepada hawa nafsu serta tenggelam dalam
kemaksiatan-kemaksiatan” (Az-Zawaajir ‘an iqtiroofil kabaair 2/907)
Beliau juga berkata :
الأَوتار والمعازف كالطُّنْبُور والعُود والصَّنْج أي: ذي الأوتار والرباب
(1) والجَنْك (2) والكمنجة والسنطير والدِّرِّيجُ (3)، وغير ذلك من الآلات
المشهورة عند أهل اللهو والسَّفاهة والفُسوق، وهذه كلُّها محرَّمة بلا
خِلاف، ومَن حكى فيه خلافًا فقد غلط أو غلب عليه هَواه، حتى أصمَّه وأعماه،
ومنعه هداه، وزلَّ به عن سنن تَقواه
“Senar-senar dan alat-alat
musik seperti kecapi, gitar, as-shonj yaitu yang ada senarnya, rebab,
jank (semacam gitar), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk
busr dengan empat senar), sinthir (semacam alat musik yang senarnya dari
tembaga –lihat al-mu’jam al-washith-pen), dan dirriij (semacam kecapi),
serta alat-alat musik lainnya yang dikenal oleh para pemain dan
orang-orang bodoh dan para pelaku kefasikan. Ini semuanya hukumnya haram
tanpa ada khilaf (perselisihan). Barang siapa yang menyebutkan adanya
khilaf dalam hal ini maka ia telah keliru atau hawa nafsunya telah
mendominasinya sehingga membuatnya tuli dan buta serta mencegahnya dari
petunjuk dan juga menggelincirkannya dari jalan ketakwaannya” (Kaff
Ar-Ri’aaa’ ‘an muharromaat al-lahwi wa as-samaa’ hal 118)
Demikianlah perkataan para ulama madzhab syafi’iyah tentang pengharaman
alat-alat musik. Kesimpulan yang bisa kita ambil dari
perkataan-perkataan mereka di atas:
Pertama : Seluruh ulama
syafi’iyah sepakat akan haramnya seluruh alat-alat musik secara umum.
Mereka hanya berselisih tentang alat musik al-Yaroo’ (semacam seruling).
Akan tetapi pendapat yang benar adalah haramnya alat musik ini
sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Imam An-Nawawi dan Ar-Romly
rahimahumallahu
Kedua : Mereka sepakat bahwa menjual alat-alat
musik hukumnya adalah haram. Karenanya mereka menyamakan penjualan
alat-alat musik sama seperti menjual khomr
Ketiga : Barang
siapa yang berwasiat untuk memberikan alat musiknya kepada orang lain,
maka wasiatnya tersebut dianggap batil dan tidak sah
Keempat : Sebagaimana diharamkan memainkan alat-alat musik demikian pula diharamkan mendengarkan suara alat-alat musik
Ada beberapa sebab diharamkannya alat musik yang telah disebutkan oleh
mereka, yaitu (1) bertasyabbuh dengan para peminum khomr atau para
pelaku kemaksiatan dan (2) mengantarkan pada perbuatan dosa-dosa besar
(3) Menghalangi dari mengingat Allah (4) menyebabkan kecondongan kepada
hawa nafsu dan menjauhkan dari ketakwaan
IJMAK ULAMA AKAN HARAMNYA MUSIK
Pengharaman alat-alat musik tentunya bukan hanya ditegaskan oleh para
ulama syafi’iyah saja, akan tetapi pengharaman alat-alat musik ini
merupakan kesepakatan para ulama dari 4 madzhab. Mereka tidaklah
mengecualikan pengharaman alat-alat musik kecuali duff (rebana) yang
dimainkan tatkala hari raya dan juga pada acara walimahan.
Bahkan banyak ulama dari berbagai madzhab dan dari berbagai kurun yang
menyatakan adanya ijmak (konsensus) dari para ulama akan haramnya
alat-alat musik.
Berikut diantara para ulama tersebut :
(1) Ibnu Jariir At-Thobari (wafat 310 H), ia berkata :
فَقَدْ أَجْمَعَ عُلَمَاءُ الْأَمْصَارِ عَلَى كَرَاهَةِ الْغِنَاءِ وَالْمَنْعِ مِنْهُ
“Telah sepakat para ulama dari seluruh negeri akan dibencinya nyanyian
dan melarang nyanyian”(sebagaimana dinukil oleh Al-Qurthubi dalam
tafsirnya 14/56)
(2) Al-Baghowi (wafat 516 H), dari madzhab Syafi’i, beliau berkata :
واتفقوا على تحريم المزامير والملاهي والمعازف
“Dan mereka (para ulama) sepakat akan haramnya alat-alat musik” (Syarhus Sunnah 13/383)
(3) Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi (wafat 540 H) dari madzhab Hanbali, beliau berkata :
وأما آلة اللهو كالطنبور والمزمار والشَّبَّابة فلا قطع فيه … أنه آلة للمعصية بالاجماع فلم يقطع بسرقته كالخمر
“Adapun alat main musik seperti tunbur, mizmar, dan syabbaabah maka
tidak ada potong tangan (bagi yang mencurinya-pen)….sesungguhnya itu
adalah alat untuk bermaksiat berdasarkan ijmak ulama, maka tidak
dipotong tangan karena mencurinya, sebagaimana khomr” (Al-Mughny 10/278)
(4) Abul ‘Abbaas Al-Qurthubi (wafat tahun 656 H) dari madzhab Maliki, ia berkata :
فأما ما أبدعه الصوفية اليوم من الإدمان على [سماع] المغاني بالآلات
المطربة ؛ فمن قبيل ما لا يُختلف في تحريمه ، لكن النفوس الشهوانية
والأغراض الشيطانية قد غلبت على كثير ممن نُسِب إلى الخير وشُهر بذكره ،
حتى عموا عن تحريم ذلك وعن فحشه
“Adapun apa yang diada-adakan
(bid’ah) oleh kaum sufiah pada hari ini berupa sikap terus-menerus
mendengar lagu-lagu yang disertai alat-alat musik maka termasuk perkara
yang tidak diperselisihkan akan keharamannya. Akan tetapi jiwa yang
dirasuki syahwat dan tujuan-tujuan yang kesetanan telah mendominasi
banyak orang yang dinisbahkan kepada kebaikan dan terkenal dengan
kebaikan tersebut, hingga akhirnya buta akan haramnya dan buruknya hal
ini” (Al-Mufhim Limaa Asykala Min Talkhiis Kitaabi Muslim 2/534)
(5) Ibnu As-Sholaah (wafat 643 H), dari madzhab syafi’i, beliau berkata
وأما اباحة هذا السماع وتحليله فليعلم أن الدف والشبابة والغناء إذا
اجتمعت فاستماع ذلك حرام عند أئمة المذاهب وغيرهم من علماء المسلمين ولم
يثبت عن أحد ممن يعتد بقوله في الإجماع والخلاف أنه أباح هذا السماع
“Adapun pembolehan samaa’ ini dan penghalalannya maka ketahuilah
bahwasanya rebana dan syabaabah (semacam seruling) dan nyanyian jika
terkumpulkan maka mendengarkannya adalah haram di sisi para imam-imam
madzhab dan selain mereka dari kalangan para ulama, dan tidak valid dari
seorangpun yang perkataannya mu’tabar(terangap) dalam ijmak dan
perselisihan bahwasanya ia membolehkan model samaa’ seperti ini”
(fataawa Ibnu As-Sholaah 2/499)
(6) An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) dari madzhab Asy-Syafi’i, beliau berkata
المزمار العراقي وما يُضرب به الأوتار حرام بلا خلاف
“Seruling Iraqi dan semua alat musik bersenar hukumnya haram tanpa ada perselisihan” (Raudhotut Thoolibiin 11/228)
(7) Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat 728 H) dari madzhab Hanbali, beliau berkata
المعازف…وهي الآلة التي يعزف بها : أي يصوت بها ، ولم يذكر أحد من أتباع
الأئمة في آلات اللهو نزاعاً… ولكن تكلموا في الغناء المجرد عن آلات اللهو :
هل هو حرام ؟ أو مكروه ؟ أو مباح ؟
“Al-Ma’aazif …adalah
alat-alat yang digunakan untuk mengeluarkan suara (musik) dan tidak
seorangpun dari pengikut para imam yang menyebutkan adanya perselisihan
tentang haramnya alat-alat musik….akan tetapi mereka berbicara tentang
hukum lagu/nyanyian yang kosong dari alat musik, apakah ia haram, makruh
ataukah mubah?” (Majmuu’ Al-Fataawa 11/576)
(8) Ibnu Rojab rahimahullah (wafat 795 H), dari madzhab Hanbali, beliau berkata
وأما استماع آلات الملاهي المطرِبة المتلقاة من وضع الأعاجم؛ فمحرمٌ مجمع
على تحريمه، ولا يُعلم عن أحد منهم الرخصة في شيء من ذلك، ومن نقل الرخصة
فيه عن إمام يُعتد به فقد كذب وافترى
“Adapun mendengarkan
alat-alat untuk main musik yang diterima dari buatan orang-orang ajam
maka hukumnya haram, dan ijmak ulama atas keharamannya, dan tidak
diketahui seorangpun dari kalangan para ulama yang membolehkan suatu
alatpun. Barang siapa yang menukilkan bahwa ada seorang imam yang diakui
bahwasanya sang imam membolehkan alat musik maka ia telah berdusta dan
mengada-ngada” (Fathul Baari syarh Shahih Al-Bukhari 6/83)
(9) Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah (wafat 973 H), dari madzhab Syafi’i, beliau berkata :
الأَوتار والمعازف كالطُّنْبُور والعُود والصَّنْج أي: ذي الأوتار والرباب
(1) والجَنْك (2) والكمنجة والسنطير والدِّرِّيجُ (3)، وغير ذلك من الآلات
المشهورة عند أهل اللهو والسَّفاهة والفُسوق، وهذه كلُّها محرَّمة بلا
خِلاف، ومَن حكى فيه خلافًا فقد غلط أو غلب عليه هَواه، حتى أصمَّه وأعماه،
ومنعه هداه، وزلَّ به عن سنن تَقواه
“Senar-senar dan alat-alat
musik seperti kecapi, gitar, as-shonj yaitu yang ada senarnya, rebab,
jank (semacam gitar), kamanjah (alat musik yang memiliki kayu berbentuk
busr dengan empat senar), sinthir (semacam alat musik yang senarnya dari
tembaga –lihat al-mu’jam al-washith-pen), dan dirriij (semacam kecapi),
serta alat-alat musik lainnya yang dikenal oleh para pemain dan
orang-orang bodoh dan para pelaku kefasikan. Ini semuanya hukumnya haram
tanpa ada khilaf (perselisihan). Barang siapa yang menyebutkan adanya
khilaf dalam hal ini maka ia telah keliru atau hawa nafsunya telah
mendominasinya sehingga membuatnya tuli dan buta serta mencegahnya dari
petunjuk dan juga menggelincirkannya dari jalan ketakwaannya” (Kaff
Ar-Ri’aaa’ ‘an muharromaat al-lahwi wa as-samaa’ hal 118)
PERINGATAN
Diantara perkara yang menimbulkan kerancuan adalah mencampur-adukan
antara permasalahan alat musik dengan permasalahan lagu/nyanyian.
Para ulama dalam kitab-kitab fikih klasik membedakan antara dua perkara
ini, antara nyanyian dan alar-alat musik. Nyanyian di zaman kita
biasanya disertai dengan lantunan alat-alat musik. Adapun istilah
al-ginaa’ (nyanyian) dalam kitab-kitab fikih klasik dan menurut istilah
para ulama terdahulu adalah mencakup perkataan bersajak, serta bait-bait
sya’ir yang dilantunkan dengan suara bernada tanpa disertai dengan alat
musik
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
الغناء أشعار موزونة تؤدى بأصوات مستلذة وألحان موزونة
“Al-ghinaa adalah sya’ir-sya’ir yang berwazan yang disenandungkan
dengan suara yang indah didengar serta nada yang teratur” (Fathul Baari
10/543)
Al-Khotthobi rahimahullah berkata :
فكل من رفع صوته بشيء ووالى به مرة بعد أخرى فصوته عند العرب غناء
“Maka setiap orang yang mengangkat sedikit suaranya lalu mengikutkan
suara berikutnya secara tertib dan berurutan maka suaranya menurut
orang-orang arab adalah al-ghinaa’/nyanyian” (Ghoriibul Hadits 1/656)
Ibnul Atsir rahimahullah tatkala mengomentari hadits Aisyah yang berkata :
دخل علي أبو بكر وعندي جاريتان من جواري الأنصار تغنيان بما تقاولت به
الأنصار في يوم بعاث قالت وليستا بمغنيتين فقال أبو بكر أبمزمور الشيطان في
بيت النبي صلى الله عليه وسلم وذلك في يوم عيد الفطر فقال النبي صلى الله
عليه وسلم يا أبا بكر إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا
“Abu Bakar
masuk ke rumahku dan di sisiku ada dua orang budak wanita kecil dari
budak-budak kaum anshoor yang sedang menyanyi dengan apa yang
disenandungkan oleh kaum Anshoor pada peristiwa perang Bu’aats. Dan
mereka berdua bukanlah penyanyi. Maka Abu Bakar berkata, “Apakah ada
suara seruling syaitan di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”.
Dan hari itu adalah hari raya ‘idul fitri. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi setiap kaum ada
hari rayanya, dan ini adalah hari raya kita” (HR Ibnu Maajah no 1898 dan
dishahihkan oleh Al-Albani)
Ibnul Atsiir berkata :
أي
تُنْشِدان الأشْعار التي قِيلت يوم بُعَاث وهو حَرْب كانت بين الأنصار ولم
تُرِد الغِنَاء المعروف بين أهْل اللَّهو واللَّعِب وقد رخَّص عمر في
غِناء الأعراب وهو صَوْتٌ كالحُداء
“Sedang bernyanyi maksudnya
adalah melantuntkan sya’ir-sya’ir yang disebutkan tatkala peristiwa
perang Bu’aats, yaitu peperangan yang terjadi diantara kalangan kaum
Anshoor. Dan Aisyah tidaklah bermaksud mereka berdua bernyanyi dengan
nyanyian yang dikenal diantara para pelaku perkara yang sia-sia. Dan
‘Umar telah memberi keringanan pada nyanyian-nyanyian orang-orang Arab
badui, yaitu berupa suara seperti al-hudaa’ ” (An-Nihaayah fi ghoriibil
Atsar 3/739)
Para ulama yang membolehkan nyanyian maka maksud
mereka adalah bersenandung dengan pembicaraan yang mubah. Barang siapa
yang membencinya atau melarangnya maksudnya adalah jika terlalu sering
melakukan nyayian tersebut.
Dalam kitab Al-Umm
قال
الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى في الرَّجُلِ يُغَنِّي
فَيَتَّخِذُ الْغِنَاءَ صِنَاعَتَهُ … وَالْمَرْأَةُ لَا تَجُوزُ شَهَادَةُ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَذَلِكَ أَنَّهُ من اللَّهْوِ الْمَكْرُوهِ الذي
يُشْبِهُ الْبَاطِلَ وَأَنَّ من صَنَعَ هذا كان مَنْسُوبًا إلَى السَّفَهِ
وَسُقَاطَة الْمُرُوءَةِ وَمَنْ رضي بهذا لِنَفْسِهِ كان مُسْتَخِفًّا
وَإِنْ لم يَكُنْ مُحَرَّمًا بَيِّنَ التَّحْرِيمِ …وَهَكَذَا الرَّجُلُ
يَغْشَى بُيُوتَ الْغِنَاءِ وَيَغْشَاهُ الْمُغَنُّونَ إنْ كان لِذَلِكَ
مُدْمِنًا وكان لِذَلِكَ مُسْتَعْلِنًا عليه مَشْهُودًا عليه فَهِيَ
بِمَنْزِلَةِ سَفَهٍ تُرَدُّ بها شَهَادَتُهُ وَإِنْ كان ذلك يَقِلُّ منه
لم تُرَدَّ بِهِ شَهَادَتُهُ لِمَا وَصَفْت من أَنَّ ذلك ليس بِحَرَامٍ
بَيِّنٍ فَأَمَّا اسْتِمَاعُ الْحِدَاءِ وَنَشِيدِ الْأَعْرَابِ فَلَا
بَأْسَ بِهِ قَلَّ أو كَثُرَ وَكَذَلِكَ اسْتِمَاعُ الشِّعْرِ *
“Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang soerang lelaki yang
menyanyi dan menjadikan nyanyian sebagai pekerjaannya … dan seorang
wanita, maka tidak boleh syahaadah (persaksian) salah satu dari
keduanya. Hal ini dikarenakan nyanyian adalah termasuk perkara sia-sia
yang makruh/dibenci yang mirip dengan kebatilan. Barang siapa yang
melakukannya maka ia dinisbahkan kepada kebodohan dan jatuh ‘adalahnya
(tidak diterima persaksiannya-pen). Barang siapa yang ridho dengan hal
ini (menjadikan nyayian sebagai keahliannya-pen) maka ia telah bodoh,
meskipun keharamannya tidaklah jelas…
Dan demikian pula seorang
lelaki yang mendatangai rumah-rumah nyanyian dan didatangi oleh para
penyanyi, maka jika ia selalu melakukannya dan menampakkannya, serta
disaksikan perbuatannya tersebut maka hal ini sama kedudukannya seperti
kebodohan yang menyebabkan tertolak persaksiannya. Dan jika
jarang/sedikit ia melakukannya maka tidak tertolak persaksiannya
dikarenakan bahwa hal itu bukanlah perkara yang jelas keharamannya.
Adapun mendengarkan al-hudaa’, nasyid-nasyid orang-orang Arab maka hal
ini tidaklah mengapa, baik jarang maupun sering, dan demikian pula
mendengarkan sya’ir-sya’ir” (Al-Umm 6/209)
Dalam pernyataan di
atas nampak Al-Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa nyanyian adalah perkara
yang makruh dan mirip dengan kebatilan, akan tetapi tidak sampai jelas
keharamannya. Barang siapa yang terlalu sering melakukan nyanyian maka
tertolak syahadahnya/persaksiannya.
Dari sini sangatlah jelas
bahwasanya Imam Asy-Syafi’i membedakan antara hukum nyanyian yang hanya
sekedar makruh tidak sampai jelas keharamannya, dengan alat-alat musik
yang hukumnya jelas haram (sebagaimana telah lalu penukilan dari Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah).
Ibnu Hibban rahimahullah berkata:
ذكر البيان بأن الغناء الذي وصفناه إنما كان ذلك أشعارا قيلت في أيام
الجاهلية فكانوا ينشدونها ويذكرون تلك الأيام، دون الغناء الذي يكون بغزل
يقرب سخط الله جل وعلا من قائله
“Penjelasan tentang bahwasanya
al-ghinaa/nyanyian yang kami sifatkan hanyalah berupa sya’ir-sya’ir yang
diucapkan tatkala di zaman jahiliyah, mereka melantunkannya dan
mengingat hari-hari jahiliyah tersebut, dan bukanlah nyanyian yang ada
cumbuan rayu wanita yang mendekatkan kemurkaan Allah kepada pengucapnya”
(Shahih Ibnu Hibbaan 14/187)
Ibnu Abdilbarr rahimahullah
berkata (setelah beliau membicarakan tentang nyanyian orang-orang yang
sedang naik tunggangan mereka dalam menempuh perjalanan mereka):
هذه الأوجه من الغناء لا خلاف في جوازها بين العلماء … ؛ إذا كان الشعر
سالما من الفحش والخنى، وأما الغناء الذي كرهه العلماء فهذا الغناء بتقطيع
حروف الهجاء وإفساد وزن الشعر والتمطيط به طلبا للهو والطرب، وخروجا عن
مذاهب العرب
“Ini adalah bentuk-bentuk nyanyian yang tidak ada
perselisihan di kalangan para ulama akan kebolehannya….jika sya’ir
terbebas dari perkataan keji dan kotor. Adapun al-ghinaa/nyanyian yang
dibenci oleh para ulama adalah nyanyian yang dilantunkan dengan
memotong-motong huruf-huruf hijaiyah, dan merusak wazan sya’ir, serta
memanjang-manjangkannya karena mencari al-lahwu (pekerjaan sia-sia) dan
at-thorb (melayang terlena-pen) dan sebagai bentuk keluar dari tradisi
orang-orang Arab” ((At-Tamhiid 22/197)
Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata,
ولا ريب أن العرب كان لهم غناء يتغنون به، وكان لهم دفوف يضربون بها، وكان
غناؤهم بأشعار أهل الجاهلية من ذكر الحروب وندب من قتل فيها، وكانت دفوفهم
مثل الغرابيل ليس فيها جلاجل … فكان النبي صلى الله عليه وسلم يرخص لهم في
أوقات الأفراح كالأعياد والنكاح وقدوم الغياب في الضرب للجواري بالدفوف،
والتغني مع ذلك بهذه الأشعار وما كان في معناها، فلما فتحت بلاد فارس
والروم ظهر للصحابة ما كان أهل فارس والروم قد اعتادوه من الغناء الملحن
بالإيقاعات الموزونة على طريقة الموسيقى، بالأشعار التي توصف فيها المحرمات
من الخمور والصور الجميلة المثيرة للهوى الكامن في النفوس المجبول محبته
فيها، بآلات اللهو المطربة، المخرج سماعها عن الاعتدال
“Dan tidak
diragukan lagi bahwasanya orang-orang Arab dahulu memiliki lagu yang
mereka nyanyikan, mereka juga memiliki rebana-rebana yang mereka
pukulkan/mainkan. Lagu mereka adalah sya’ir-sya’ir ahlul jahiliyah
seperti penyebutan peperangan-peperangan dan motivasi untuk ikut serta
dalam peperangan. Rebana mereka dahulu tanpa ada lonceng-lonceng
kecil…Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada
mereka pada waktu-waktu gembira seperti pada hari-hari raya, walimah
pernikahan, datangnya orang yang telah lama berpisah, untuk memainkan
(memukul-mukulkan) rebana tersebut oleh para budak-budak wanita kecil,
serta bersenandung dengan sya’ir-sya’ir dan yang semisal sya’ir-sya’ir.
Tatkala kaum muslimin menguasai negeri Persia dan Romawi maka nampak
pada para sahabat kebiasaan orang-orang Persia dan Romawi yang
menyanyikan lagu-lagu yang bernada dengan ketukan-ketukan/irama yang
teratur dengan metode musik, disertai syai’ir-syai’ir yang mensifatkan
dan menyebutkan perkara-perkara yang haram, seperti khomr, wanita-wanita
cantik yang menyebabkan terkobarkannya syahwat yang tersembunyi di
dalam jiwa yang tabi’atnya menyukai hal-hal tersebut, disertai juga
dengan alat-alat musik yang menyebabkan pendengarnya keluar dari sikap
lurus
فحينئذ أنكر الصحابة الغناء واستماعه، ونهوا عنه وغلظوا
فيه، حتى قال ابن مسعود: الغناء ينبت النفاق في القلب كما ينبت الماء البقل
-وروي عنه مرفوعا- وهذا يدل على أنهم فهموا أن الغناء الذي رخص فيه النبي
صلى الله عليه وسلم لأصحابه لم يكن هذا الغناء، ولا آلاته هي هذه الآلات،
وأنه إنما رخص فيما كان في عهده، مما يتعارفه العرب بآلاتهم، فأما غناء
الأعاجم بآلاتهم فلم تتناوله الرخصة، وإن سمي غناءً وسميت آلاته دفوفا، لكن
بينهما من التباين ما لا يخفى على عاقل، فإن غناء الأعاجم بآلاتها يثير
الهوى، ويغير الطباع، ويدعو إلى المعاصي، فهو رقية الزنا، وغناء الأعراب
المرخص به ليس فيه شيء من هذه المفاسد بالكلية البتة؛ فلا يدخل غناء
الأعاجم في الرخصة لفظا ولا معنى،
Maka tatkala itu para
sahabatpun mengingkari nyanyian dan mendengarkannya, mereka melarangnya
dengan keras. Sampai-sampai Ibnu Mas’ud berkata : “Nyanyian menumbuhkan
kemunafikan di hati sebagaimana air menumbuhkan tumbuhan/sayuran”. Dan
diriwayatkan dari beliau secara marfu’. Hal ini menunjukkan bahwasanya
mereka faham bahwa nyanyian yang dibolehkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya bukanlah nyanyian yang seperti
ini, dan bukanlah alat-alatnya seperti alat-alat ini !!, dan Nabi
hanyalah memberi keringanan (membolehkan) pada perkara-perkara dan
alat-alat yang ada di zaman beliau yang dikenal oleh orang-orang Arab.
Adapun nyanyiannya orang-orang ‘ajam disertai alat-alat yang seperti
alat-alat tersebut -meskipun dinamakan nyanyian, alat-alatnya dinamakan
rebana- akan tetapi antara nyanyian dan rebana zaman Nabi tentu sangat
berbeda dengan nyanyian dan rebana orang ajam, yang perbedaan ini
tidaklah samar bagi orang yang berakal. Sesungguhnya nyanyian
orang-orang ajam yang disertai alat-alat musiknya mengorbankan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar