Bicara masalah sekolah, adalah bicara masalah keprihatinan yang mendalam. Sedih rasanya ingin mambahasnya. Tapi kenyataan berbicara demikian.
1. Kurikulum
Kurikulum sekolah jaman now adalah bagaimana anak menghafal, menghafal, dan menghafal. Bagaimana seorang guru ditarget untuk menghabiskan materi yang ada dalam buku sesuai yang telah ditentukan. Bila anak belum memahami, tidak bisa dijelaskan ulang karena mengejar waktu. Dalam satu tahun akademik harus menghabiskan sekian buku. Kalau harus mengulangi, nanti waktunya kurang. Tidak habis semua materinya. Padahal di dalam UAS atau Ujian Akhir Semester akan diujikan. Orang tua akan protes kepada guru, mengapa materi ini ada dalam UAS tapi belum diajarkan. Makanya daripada dapat protes dari orang tua dan kepala sekolah yang meragukan kemampuannya mengajar, guru memilih terus berjalan menghabiskan materi walau anak-anak belum memahami materi yang lalu.
2. Teknis Belajar
Satu guru didalam kelas mengampu 24 anak (rata-rata SDIT) sudah tidak memadai. Biasanya ada guru pendamping. Teknisnya, satu guru memberikan materi di depan dan guru pendamping akan mengatur anak-anak supaya tenang. Lah, bagaimana materi bisa masuk? Guru menyampaikan dengan metode satu arah. Anak dituntut untuk diam menyimak tanpa membantah. Anak yang banyak bertanya, anak yang tidak bisa duduk diam, dianggap "nakal". Padahal dalam satu hari bisa ada beberapa pelajaran. Tugas demi tugas harus ditulis dan diselesaikan. Yang tidak selesai karena kemampuannya menengah kebawah, "bodoh". Dan yang selesai cepat lalu bermain bersama temannya, "nakal".
3. Menjelang dan Saat Ujian
Kaget sekali melihat guru masih diharuskan membuat kisi-kisi soal yang akan keluar dalam ujian. Ini aneh. Bukankah soal yang akan keluar adalah semua yang telah dipelajari selama ini? Mengapa masih harus membuat kisi-kisi? Dan ada lagi tambahannya, membuat rangkuman materi. Aneh sekali. Buat apa membeli buku-buku pelajaran kalo akhirnya guru membuat rangkuman materi? Dulu zaman saya sekolah, membuat rangkuman adalah tugas anak. Di akhir bab, membuat rangkuman dalam buku catatan serapi dan semenarik mungkin. Kalau anak yang membuat dan menulis sendiri, otomatis anak akan membaca dan akan menghafalnya. Bagaimana kalau guru yang membuatnya? Ada kemungkinan dibaca oleh semua anak? Ada. Tapi yang dibaca rangkumannya saja. Bukunya tergeletak. Budaya membaca semakin anjlok.
Saat ujian tidak kalah tragisnya. Anak dituntut mendapat nilai yang bagus atau gurunya akan disangsikan kemampuan mengajarnya. Kepala sekolah menuntut demikian karena bila nilai anak-anak jatuh, maka rangking sekolah akan jatuh. reputasinya dipertaruhkan. Sekolah dengan rangking dibawah, akan lebih sulit mencari murid. Bila muridnya sedikit maka.... ah sudahlah.
Maka berbagai cara dilakukan agar nilai anak-anak meningkat. selain membuat kisi-kisi dan rangkuman materi, beberapa oknum guru membacakan soal-soal ujian lengkap dengan jawabannya sebelum ujian di mulai. Lalu, soal dibagi dan anak-anak mengerjakan. Bisa dikatakan bahwa anak akan dengan mudah mengerjakan karena masih segar dalam ingatannya apa yang dibacakan gurunya baru saja. Nilainya? Jangan ditanya. Rata-rata kelasnya bagus.
4. Guru
Kok dari tadi menyalahkan guru? sama sekali tidak. Justru posisi guru adalah posisi yang membingungkan. Satu sisi pasti fitrah seorang guru ingin semua anak didiknya memahami pelajaran yang disampaikan. Tapi sisi lain terbentur dengan aturan-aturan.
Dan tahukah kalian, bagaimana dengan kesejahteraan guru? Sekolah dengan biaya spp per anak 500rb, gaji guru masih 'menyedihkan'. Seharusnya sudah berdasarkan jam mengajarnya juga diperhitungkan. Mengajar dari pagi sampai sore dengan sepenuh hati, masih kalah dibandingkan pegawai baru di kantor atau bahkan rumah tangga. Itupun dengan tuntutan-tuntutan sekolah dan orang tua setinggi langit.
Makanya tidak heran, ada tambahan tugas sedikit saja guru sekolah akan menetapkan tarif tambahan buat guru. Ada biaya menguji anak ujian. Ada biaya penulisan ijazah. Ada biaya snack guru. Bisa dibayangkan betapa banyak beban murid.
Mana peran yayasan? Duh, boro-boro biaya ini itu tetek bengek. Anak dengan keampuan membayar rendah saja tidak dipedulikan. Sok atulah beliau sedekah kesana kemari, sisakan sedikit buat sedekah ke wali murid di sekolah yang dibinanya. Alhamdulillah tidak semua yayasan begitu. Lagi-lagi semua yang saya ceritakan adalah oknum. Tidak semua begitu.
Dan dengan semua kenyataan itu, masihkah berharap anak bisa bergairah belajar dengan sekolah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar