Oleh: *Mohammad Fauzil Adhim*
Pernahkah engkau dengar tentang Perang Badar? Inilah perang yang meninggalkan kesan paling mendalam di hati kaum Muslim, khususnya para shahabat yang hidup di masa itu. Mereka yang turut dalam Perang Badar mendapatkan tempat kehormatan yang sangat khusus. Inilah perang yang menunjukkan betapa kekuatan iman jauh lebih penting daripada jumlah pasukan yang dapat dihitung dan besarnya kekuatan senjata yang dapat disebut. Inilah perang yang memberi pelajaran berkesan betapa jiwa yang kukuh oleh tegaknya iman sehingga melahirkan pribadi yang memiliki _‘izzah_ tinggi, jauh lebih berharga daripada banyaknya anggota pasukan yang mahir memainkan senjata.
Mari kita lihat, siapa yang membawa bendera panji itu. Tak salah lagi, Ali bin Abi Thalib
_radhiyaLlahu ’anhu_ yang diserahi tugas oleh Nabi _shallaLlâhu ’alaihi wa sallam_ untuk membawa panji-panji di Perang Badar. Anak muda itu, ah… anak muda yang masih belia itu, datang ke medan perang dengan berani dan penuh kemantapan. Tak surut langkahnya ke belakang, meski yang dia hadapi adalah panglima perang yang ganas dan beringas. Bersama Hamzah dan Abu Ubaidah, Ali bin Abi Thalib menggetarkan musuh-musuh Allah ‘Azza wa Jalla. Bukan karena banyak pengalaman, melainkan karena kuatnya keyakinan bahwa pertolongan tidak akan pernah jauh karena Allah Rabbul ’Alamin lebih dekat dari urat lehernya.
Tengok pula ketika lelaki muda belia ini terjun ke Perang Khandaq atau lebih dikenal dengan sebutan Perang Parit. Lihatlah ketika Amr bin Abd Wudd, Sang Pemberani Quraisy yang sangat terkenal dan ditakuti itu menerjang dan menyerbu parit untuk menantang kaum Muslimin. Tak ada orang yang berani menyambut tantangannya selain Ali bin Abi Thalib. Nabi _shallaLlâhu ’alaihi wa sallam_ mengingatkan Ali tentang orang yang sangat berbahaya ini. Tetapi… Ali bin Abi Thalib _karramallâhu wajhah_ tetap kukuh tekadnya untuk menghadapi Amr yang terus menggonggong, menantang dan memanggil-manggil untuk mengajak berduel.
“Siapa yang berani bertanding?”
Yang langsung menyambut ajakannya, tulis Ali Audah dalam bukunya yang berjudul _Ali bin Abi Thalib_ (Litera Antar Nusa, 2003) adalah Ali bin Abi Thalib. Melihat anak muda ini yang tak sebanding itu, Amr berkata lagi dengan congkak sekali.
“Oh kemenakanku? Aku tidak ingin membunuhmu.”
“Tetapi aku ingin membunuh kau,” sahut Ali.
Sebelum itu, Nabi _shallaLlâhu ’alaihi wa sallam_ telah memberikan pedangnya yang terkenal, _Zulfikar._ Ali maju, bertarung dan Amr sang pemberani Quraisy itu pun roboh. Pasukan yang dipimpin Amr kocar-kacir. Mereka berlarian. Bahkan kepala Amr pun lari menjauh dari tubuhnya karena terpenggal.
Kisah keberanian Ali bin Abi Thalib _radhiyaLlahu ’anhu_ kita cukupkan sampai di sini dulu. Banyak kisah lain yang menunjukkan keberanian menantu Nabi _shallaLlâhu ’alaihi wa sallam_ ini. Di luar itu, kita juga mendapatkan banyak kisah dari para shahabat yang—sekali lagi—menunjukkan betapa jiwa mereka sangat kukuh, hati mereka begitu tenang, kasih sayangnya berlimpah, dan pribadi mereka penuh dengan keteguhan hati. Lihatlah itu, siapa yang datang menghadap kaisar Romawi dengan pakaian lusuh tanpa turun dari kudanya? Siapa lagi kalau bukan generasi awal Islam. Padahal di masa itu, orang datang dengan merangkak dan bersujud apabila ingin menghadap para pembesar Romawi. Persis seperti kita sekarang ketika menemui para pembesar Amerika, bahkan yang paling rendah sekalipun. Kita merasa tak cukup berharga apabila dasi tidak melilit leher kita. Seakan-akan sudah menjadi modern hanya dengan _standing party,_ sementara hati dan pikiran kita kosong tanpa isi.
Tanda-tanda apakah ini, Tuan? Tanda dari semakin cerdasnya kita ataukah semakin kosongnya jiwa?
Kita didik anak-anak kita untuk menggenggam benda-benda, membanggakannya dan menyakinkan diri sendiri bahwa dengan itu, anak-anak kita akan percaya diri. Padahal malah sebaliknya, semakin menjauhkan mereka dari matangnya jiwa.
Agar kita tidak terlalu berpanjang kata, rasanya kita perlu berbincang sejenak tentang jenjang-jenjang percaya diri untuk melengkapi perbincangan kita sebelumnya. Mudah-mudahan dengan itu, kita tergerak menyiapkan bekal bagi anak-anak kita. Mudah-mudahan pula Allah _‘Azza wa Jalla_ menyempurnakan upaya kita yang masih penuh kekurangan. Kelak, insya Allah, kita bisa berharap agar anak-anak itu mampu menegakkan kepala dan mengubah dunia dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya.Tidak seperti generasi orangtuanya mereka yang lemah dan tak berdaya jiwanya.
_Pertama,_ rasa percaya diri semu alias _pseudo self-confidence._ Ini jenjang terendah, namun justru banyak diburu. Mereka kelihatan penuh percaya diri, tampil dengan sangat menyakinkan, dan tampak begitu mengesankan. Tetapi ketika lupa membawa deodoran, mereka akan bersembunyi seperti tikus tersiram air. Mereka “percaya diri” hanya apabila bersama mereka ada hal-hal atau benda-benda yang dapat membuat mereka “terangkat” , meski sebenarnya tidak ada orang yang terlalu memerhatikan benda-benda itu. Mereka akan datang malu-malu bila telepon genggam yang dipakai “tidak bermerek” atau sudah lecet di sana-sini. “Rasa percaya diri” mereka akan bangkit ketika telepon genggam yang lusuh itu berganti dengan keluaran terbaru yang _features_-nya berlimpah, meskipun yang dibutuhkan hanya phonebook, SMS, WA dan bisa menelepon.
Industri ini sangat berkepentingan memelihara percaya diri semu ini agar produk tetap laris. “Hari gini nggak punya HP?” bunyi iklan produk yang dulu sempat saya lihat di bandara ini, dan berikutnya hadir dengan berbagai modifikasinya, termasuk cara beriklan yang merusak rasa percaya diri orang dan sekaligus memelihara _pseudo self-confidence._ Percaya diri semu. Kepercayaan pada dukun, akik, keris, dan sejenisnya juga dapat menyebabkan anak-anak memiliki percaya diri semu atau bahkan tidak punya percaya diri sama sekali. Bukan tidak mungkin lebih buruk dari itu. Anak tidak memiliki _sense of competence_ atau kesadaran bahwa dirinya memiliki kompetensi, sehingga secerdas apa pun selalu merasa tidak mampu. Bukan karena tawadhu, melainkan karena jiwanya yang rapuh.
_Kedua,_ percaya diri karena orang lain memiliki kekurangan dan kelemahan. Ia merasa percaya diri karena memiliki kelebihan yang orang lain di sekitarnya tidak memiliki. Ini sesungguhnya juga bukan termasuk percaya diri, dan dekat dengan kesombongan. Sesungguhnya, sikap sombong itu ada kalanya merupakan bentuk lain dari minder. Terhadap yang di atasnya tidak berkutik, sementara terhadap yang dianggap lebih rendah ia akan menepuk dada. Sedihnya, ini justru yang sering ditanamkan oleh orangtua, “Eit, coba lihat. Wuih, bagusnya. Coba temanmu, pasti nggak ada yang punya.”
Atau nasihat yang seakan-akan menguatkan jiwa, “Kamu nggak usah malu. Temanmu yang pakai sepatu lebih jelek juga banyak. Kalau temanmu sepatunya bagus-bagus, kamu boleh malu. Tapi kan banyak yang lebih jelek dari ini.”
Anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini, sulit dibayangkan bisa memiliki rasa percaya diri yang kukuh. Anak-anak ini bukan tidak mungkin menyibukkan diri dengan rekayasa kesan agar tampak menyakinkan. Apa pun bengtuknya. Tentu saja pada tingkat ini, mereka sudah tidak bisa lagi disebut percaya diri.
_Ketiga,_ percaya diri Karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki. Ini lebih positif daripada yang sebelumnya. Ia akan mudah menyesuaikan diri dengan orang-orang yang memiliki minat dan kelebihan yang sama. Ia juga bisa dengan mudah menemptkan diri di lingkungan yang membutuhkan kelebihan-kelebihannya. Tetapi, ia kurang bisa nyaman dengan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Bahkan bisa jadi, kekurangan itu menyebabkan ia sibuk menutupinya.
Saya teringat dengan seorang mahasiswa—waktu itu—yang menjadi responden ketika melakukan praktikum. Waktu itu, saya masih kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Agar bisa lulus mata kuliah psikodiagnostik, saya harus mencari responden. Unik, seorang mahasiswa yang cerdas, tetapi senantiasa menyibukkan diri untuk pakai topi. Ia tampil cukup meyakinkan, tetapi ketika topi tidak bertengger di kepalanya, ia gelisah. Belakangan saya tahu, ia sibuk menutupi sedikit belang di keningnya akibat luka. Ia merasa belang itu akan menjadi pusat perhatian sehingga “harganya” akan jatuh. Padahal orang tidak menyibukkan diri untuk melihat setiap manusia yang lewat secara saksama.
Pada jenjang ini, rasa percaya diri juga bertingkat-tingkat keadaannya. Tingkat terendah, kita merasa kurang nyaman apabila bertemu dengan orang yang sama kelebihannya, tetapi lebih tinggi keunggulannya. Pada tingkat yang lebih positif, seseorang merasa nyaman apabila bertemu dengan orang-orang yang memiliki kelebihan sama. Ia siap belajar kepada yang lebih hebat, serta bersedia untuk berbagi pada yang lebih rendah kemampuannya.
_Keempat,_ tumbuhnya kepercayaan diri karena dapat menerima kelebihan dan kekurangannya. Ia menyadari apa yang menjadi kekurangannya, sebagaimana ia menyadari kelebihan-kelebihannya. Kesadaran tentang kelebihan dan kekurangan membuat ia tidak sombong, tidak pula rendah diri. Ini berbeda dengan merasa. Orang yang merasa memiliki kelebihan, cenderung tidak mau belajar kepada orang lain. Sementara mereka yang merasa memiliki kekurangan akan minder.
_Kelima,_ kuatnya percaya diri karena menjiwai, merasakan dan memandang semua manusia sama. Tak ada yang membedakan, kecuali takwanya. Kalau harus ada suku-suku yang berbeda karakternya, itu adalah untuk saling mengenal sehingga akan melapangkan dada, meluaskan wawasan, menajamkan pikiran, menghidupkan jiwa, dan membangkitkan kekuatan semangat.
Di buku _Mendidik Anak Menuju Taklif,_ beberapa tahun yang lalu saya pernah bermimpi tentang jaringan rumpun sekolah. Tiap rumpun meliputi jenjang pendidikan dasar lanjutan pertama, menengah atas dan bila memungkinkan sampai perguruan tinggi. Tetapi yang paling pokok adalah jenjang pendidikan dasar sampai dengan menengah atas. Sebagian lulusan pendidikan dasar di satu rumpun, dikirim untuk belajar di jenjang berikutnya pada rumpun lain yang memiliki budaya berbeda. Semoga dengan demikian, ibarat air, mereka akan mengalir. Tidak menggenang. Sesungguhnya air yang diam menggenang itu akan mudah busuk.
_Keenam,_ rasa percaya diri yang kuat karena melihat pada dirinya ada amanah untuk berbuat. Bukankah kita ini—sebenarnya—adalah umat terbaik yang dikeluarkan di antara manusia untuk menyuruh pada kebaikan, menjauhkan dari kemungkaran dan mengajak mengimani Allah ‘Azza wa Jalla? Tetapi, mengapa kesadaran ini tidak kita tanamkan pada anak-anak kita? Mengapa hanya kita jadikan sebagai pengetahuan saja untuk mereka? Cukuplah generasi kita yang menyedihkan. Generasi anak-anak kita haruslah generasi yang penuh percaya diri. Mereka mampu menegakkan kepalanya dalam pergaulannya dengan seluruh penduduk dunia. Mereka tidak menyingkir tanpa izzah tatkala berpapasan di jalan dengan orang-orang kafir yang secara nyata menampakkan kekafirannya.
Sebenarnya, tingkatan terakhir ini bukanlah percaya diri. Saya menyebutnya pasca percaya diri, melampaui percaya diri _(beyond self confidence)._ Mereka tegak kepalanya saat berhadapan dengan orang lain bukan karena bagusnya pakaian yang disandang, bukan pula karena memandang kedudukan dirinya, tetapi karena yakin sepenuhnya terhadap kemuliaan agama ini dan kekuasaan Allah Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Mereka dapat merunduk lebih rendah dibanding yang lain saat menghadapi manusia dan melayani mereka, bukan karena gemetar takut hilang kepercayaan, tapi karena memandang besarnya amanah dari Allah Ta’ala. Mereka tak meremehkan manusia, sekaligus tak gentar menghadapi yang besar, karena sungguh-sungguh meyakini bahwa tidak ada daya dan upaya selain semata karena Allah Ta’ala. Tidak ada daya. _Laa haula wa laa quwwata illa biLlah._ Bukankah ini yang kita ucapkan setiap kali mendengar seruan muadzin untuk shalat serta meraih kejayaan? Bukankah ini pula yang seharusnya menjadi keyakinan seorang mukmin dan membentuk pribadinya?
Semoga Allah Ta’ala kokohkan keyakinan pada diri kita dan anak-anak kita.
.
.
***
Diambil dari buku *Positive Parenting* terbitan Pro-U Media, Yogyakarta, 2015.
Diambil dari buku *Positive Parenting* terbitan Pro-U Media, Yogyakarta, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar