Rabu, 02 Oktober 2019

Dibully Orang Dewasa

Kalau yang membully teman sebaya, saya sudah biasa menguatkannya. Rumaisha, sudah beberapa kali diejek karena beberapa hal oleh temannya. Saya sarankan beberapa langkah, pertama diamkan. Masih mengejek, katakan bahwa kamu tidak suka diejek. Masih berlanjut, sini bilang sama mama. Alhamdulillah, sebagian langkah pertama sudah selesai. Merasa didiamkan, mereka sudah tidak mengejek lagi. Namanya juga anak-anak, besok sudah bermain bersama-sama lagi seolah lupa dengan yang kemarin.

Suatu hari, Rumaisha pulang sekolah sambil menangis. Setelah berusaha menenangkan dengan membiarkannya menangis sampai tuntas, dia mulai berbicara.

"Tadi si A temenku bilang, katanya ga mau temenan sama aku lagi." Katanya. Tentu saja saya kaget. Si A ini sahabatnya meski kelasnya dibawah Rumaisha. Mereka sering bermain bersama.

"Si A pergi ga ngajak aku, malah ngajak yang lain. Dan si A cerita kayak ngece gitu." Sambungnya. "Aku sengaja ga diajak, katanya ga boleh sama mamanya."

Saya mulai menghela nafas dalam, walau masih berusaha positif thinking.

"Memang mamanya bilang apa?" Tanya saya.

"Katanya aku... bla bla bla.. " Duh, bahkan untuk menulisnya saya ga sanggup. Air mata saya sudah ingin jatuh tapi saya tahan-tahan untuk menguatkan Rumaisha.

Saya heran, kok bisa mama si A menceritakan kejelekan Rumaisha di depan anaknya? Walaupun semua yang dikatakan itu justru komplit ada pada anaknya semua. Sama lah, namanya juga anak-anak.  Dan keadaan yang sama juga dialami oleh teman-teman lain yang diajak pergi. Heran, sungguh heran.

Sebenarnya memang mama si A ini sudah biasa membully dari dulu. Orangnya suka ceplas ceplos kalau bicara. Tapi saya sudah lama tidak menjadi korban. Lha kok sekarang kambuh dan korbannya Rumaisha. Haduuh.. sebenarnya saya emosi.

Kalau saya yang dibully, kan saya sudah menjadi lebih dewasa. Pengendalian diri saya sudah lebih baik dibanding dulu. Dulu kalau dibully, saya bisa nangis semalaman. Sekarang, sudah lebih berpositif thinking agar tidak larut dalam pikiran negatif. Dan tentu saja mempengaruhi produktivitas usia saya.

Tapi ini Rumaisha, yang usianya masih sepuluh tahun. Tentu saja hatinya hancur. Bayangkan si A yang selalu bermain bersama-sama dengan dirinya. Tiba-tiba persahabatan mereka di rusak oleh mamanya. Dan sebabnya tidak bermutu menurut saya. Bukan karena akhlak yang buruk, bukan karena sikap yang jelek. Murni itu kekurangan Rumaisha yang sebenarnya hanya soal teknis dalam menjalani kehidupan saja.

Ribet ya hidup ini? Hehehe.

Namun semua tentu ada sisi positif yang bisa kita syukuri. Saya anggap semua kejadian adalah cara Allah untuk menguatkan Rumaisha. Ibarat permata yang harus terkubur tanah dalam-dalam sebelum menghasilkan keindahan yang akan mempesona.

"Sabar ya Rumaisha. Mungkin saat ini kamu sedih karena ga diajak pergi. InsyaAllah, Allah akan menggantinya dengan keadaan yang membuat kamu amat sangat bahagia. Ya?" Kata saya menghibur. Rumaisha mengangguk dan mulai berhenti menangis.

"Aku masih ingin main sama si A." Katanya.

"Tenang saja, kalau dia bosan, dia akan main kesini lagi. Sementara, kamu main dulu dengan teman yang lain." Jawab saya sambil tersenyum. "Ini bukan kejadian yang pertama kan?"

Rumaisha tersenyum dan langsung memeluk saya. Dia bergegas mandi karena adzan Ashar berkumandang. Sore hari waktunya belajar lagi. Matematika, mengaji, dan tae kwon do. Semangat, Nak!

Tambahan : tidak perlu waktu lama, besoknya si A sudah main ke rumah lagi. Selamat datang, nak.. semoga kelak kamu bisa lebih menjaga lisan. Barakallahu fiikum...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar