Kamis, 03 Oktober 2019

Percaya Dokter atau Herbalis?

Suatu hari, Abbas pernah sakit demam parah, opname hingga dua kali. Ternyata Abbas kena campak, belum lagi ternyata dia kejang demam. Pada saat-saat genting, datang seorang anak teman, iya dia masih baru lulus sma, memberi nasehat pada saya.

Intinya, dia herbalis dan anti dokter. Katanya sakit gara-gara vaksinlah, infus bikin sakit lah, dan sederet pernyataan lainnya. Tidak tahukah dia bahwa Abbas dehidrasi berat dan obat tercepatnya adalah infus?

Apakah saya anti herbal? Tidak juga. Apakah saya terlalu cinta dokter? Tidak juga.

Kalau sakit, langkah awal kami minum habbatus sauda dan madu. Itu herbal juga kan, ada haditsnya pula. Beberapa kali setelah minum keduanya, bisa langsung sembuh. Namun adakalanya tidak. Maka setelah tidak sembuh tentu saya ke pengobatan berikutnya, yaitu ke dokter. Tidak kelamaan. Tidak menunggu parah. Namun juga tidak terburu-buru.

Pengalaman saya menceritakan banyak hal. Usamah, pernah batuk yang parah. Saya pergi ke dokter umum, dokter anak, dokter paru yang dekat, dan dokter paru yang senior meski jauh sekali tempat prakteknya. Masing-masing kontrol dua sampai tiga kali. Itu pun juga minum habbatud sauda. Akhirnya setelah mencari informasi kesana sini, dapat seorang dokter anak, spesialis paru anak di Jogja. Obatnya murah, lima puluh ribu buat sebulan. Racikannya dikit sekali. Beda dengan yang sebelum-sebelumnya hingga sesendok penuh. Subhanallah, cocok dan sembuh.

Mus'ab juga pernah batuk parah. Di rontgen, katanya jantungnya bermasalah. Saya periksa jantung di Solo, biaya mahal plus resep dua lembar penuh. Saya gemetar mau menebus resepnya. Akhirnya meneguhkan hati untuk tidak beli. Saya cari informasi, dapat dokter anak spesialis jantung anak di Jogja. Dia bilang jantung Mus'ab baik-baik saja. Hanya diberi vitamin dan disuru minum yakult setiap hari. Tanpa obat apapun. Subhanallah, cocok dan sembuh.

Berbekal pengalaman dua kakaknya, maka dua adiknya tidak mengalami hal yang sama. Kalau sakit batuk agak parah, kami sudah punya rujukan langsung kesana. Tidak perlu melewati banyak dokter lagi.

Saya ditunjukkan sebuah herbal namanya madu batuk. Dengan testimoni yang katanya banyak yang cocok. Saya lihat isinya, hanya madu, habbatus sauda dan rempah apa saya lupa. Komposisinya berapa persen, dosisnya, indikasinya, apalagi efek sampingnya, semua serba kira-kira. Saya mengelus dada. Mending ini hanya sakit batuk, sakit yang ringan. Saya lihat ada banyak botol lain untuk penyakit yang lebih parah. Komposisinya juga daun ini itu, jinten, dan semua yang diklaim aman tanpa efek samping.

Kalau sakitnya tidak kunjung sembuh, maka akan dikatakan "Qadarullah." Apalagi kalau berujung kematian. Tidak sedikitpun menyalahkan herbal.

Begini ya. Ini pendapat saya pribadi. Ada orang yang mengaku ahli teknik padahal tidak sekolah teknik, lalu membuat pesawat terbang. Eh, kejauhan. Membuat motor saja lah. Berbekal bengkel, las sana sini, tambah sana sini, jadilah motor. Kira-kira, kita mau beli motornya atau tidak? Kalau saya tentu tidak mau. Karena motornya belum mendapat sertifikat uji kelayakan, belum dilakukan uji coba dengan standar keamanan yang telah ditetapkan.

Kenapa tidak mau beli? Kan sama-sama motor yang bisa dipakai pergi kemana-mana? Tentu saja kita sama-sama membeli motor, kita pilih yang sudah teruji aman dan awet. Takut ada apa-apa terjadi di jalan, tukang bengkel mana bisa disalahkan. Tidak ada jalur yang jelas.

Bayangkan kalau dia membuat pesawat terbang. Apakah kita mau naik pesawatnya? Ha mbok milih tidak jadi pergi. Daripada kalau meledak dijalan, siapa mau tanggung  jawab?

Sama, dunia pengobatan juga begitu. Tidak ujug-ujug percaya pada saran seseorang, tapi dilihat dulu siapa yang berbicara. Dokter yang sudah belajar anatomi tubuh, belajar dan praktek sekian tahun saja bisa salah. Apalagi yang tidak pernah belajar sama sekali. Apa nama-nama organ dan bagaimana kerjanya. Nama-nama enzim, saluran pembuluh darah, sistem saraf dan sebagainya.

Gila apa, mempercayakan pengobatan pada yang anatomi tubuh saja tidak tahu?

Ya tapi sekarang banyak yang percaya. Pendidikannya hukum bisa jadi master herbalis. Pendidikannya teknik bisa. Bahkan lulusan sma pun bisa. Yang penting lantang bersuara maka dipercaya.

Dan racikan herbal yang hanya berizin industri rumah tangga, dengan perbandingan komposisi berdasarkan perkiraan, klaimnya setinggi langit. Padahal paracetamol hanya boleh klaim bisa menurunkan demam dan mengurangi rasa nyeri. Tidak boleh lebih. Setiap obat hanya bisa menyebutkan indikasinya setelah penelitian bertahun-tahun. Herbal mana ada pakai penelitian?

Saat ini berkembang pula infuse water. Air rendaman aneka buah. Ya Allah, secara nalar saja kalau mau manfaat buahnya kenapa tidak dimakan langsung buahnya. Kok malah direndam. Tidak semua zat gizi larut air. Dan partikelnya harus dihancurkan dulu baru bisa larut air. Bukan sekedar direndam.

Belum lagi ajakan makan tempe mentah dan resep aneh buatannya. Dah gitu slogannya jurus sehat Rosulullah. Emang rosul makan tempe gitu? Haduh... yang begitu banyak banget pengikutnya.

Saya minum air rebusan jahe, dan rempah lain-lainnya. Saya juga mengobati diare dengan kunyit, batuk dengan kencur, flu dengan jahe. Tapi tidak klaim macam-macam lah, karena memang belum diteliti betul-betul. Hanya sekedar katanya dan katanya. Cocok dengan saya belum tentu cocok untuk semua.

Jadi herbal dan dokter tidak perlu ditabrakkan. Saran saya, kalau sakit, tetap pergi pada ahlinya yaitu dokter. Kalau mau ditambah herbal, beriringan saja. Obatnya jangan ditinggal karena akan memperparah penyakitnya. Wallahu a'lam bis showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar