Minggu, 19 Januari 2020

Persembahan Terakhir Buat Abah - Part 3 Suasana Mengurus Jenazah Abah di Rumah

Sambil berurai air mata, kami mulai membagi tugas. Sebagian anak laki-laki menemani jenazah abah. Sebagian lagi pulang untuk menemui para pelayat. Sementara itu mamah, kak Iyuk, Fila dan aku juga pulang.

Di rumah, sudah banyak pelayat berdatangan. Mereka menyalami kami satu per satu. Mereka pergi dan datang lagi bagai air yang mengalir tak henti-henti. 

Mamah mengumpulkan anak-anak untuk membaca surat wasiat abah. Surat yang ditulisnya dengan tulisan tangannya sendiri itu sudah ada sejak tahun 2004. Subhanallah. Itu kan setahun setelah aku menikah. Mengapa abah menuliskannya saat itu? Entahlah..

Faiz mulai membacakan isi surat wasiat. Intinya, abah menginginkan anak-anaknya terus bersatu dan bertakwa pada Allah. Abah ingin jalanan tidak ditutup oleh tenda sepenuhnya hingga motor masih bisa lewat (Abah tidak mau mengganggu hak jalan). Dan Abah ingin dimakamkan di Polokarto. Ada juga keinginan Abah untuk membagi sebagian hartanya untuk orang-orang tertentu yang disebutkan.

Setelah pembacaan surat wasiat, kami kembali menemui para pelayat. Terjadilah kebingungan, kapan jenazah Abah akan dikebumikan? Beberapa ingin bersamaan dengan sholat Jum'at. Tapi ternyata waktunya terlalu mepet. Akhirnya diputuskan untuk sore bakda Ashar. Toh bakda Ashar di hari Jum'at justru waktu yang mustajab untuk berdoa. Kami semua sepakat.

Bakda jumatan, jenazah Abah dimandikan, lalu dikafani. Kami para pelayat perempuan sudah siap mensholatkan. Dengan kebesaran hatinya, Mamah memimpin sholat jenazah Abah. Aku yang membantunya mengeraskan suara takbir.

Tahu apa rasanya mensholatkan jenazah Abah? Rasanya sungguh aneh. Ada rasa tidak percaya. Benarkah jasad yang terbujur kaku itu adalah Abah? Dan memang benar itu Abah. Air mata tak berhenti mengalir. Menganak sungai.

Sebelum Ashar, jenazah dibawa ke masjid MUI. Subhanallah, banyak sekali yang menyolatkan. Masjid MUI yang sangat besar itu terisi penuh sekali. Tidak ada tempat luang. Bahkan dilantai 2 juga penuh. Diemperan masjid juga penuh. Ini saya lihat di status beberapa orang. Kak Syarif yang menjadi imam sholat jenazah Abah.

Berangkat ke Polokarto, banyak orang sekitar yang belum pernah tahu ada pemakaman disana. Mereka bingung mengapa Abah dimakamkan disana, dan bukan di Klumprit seperti halnya jamaah arab lainnya. 

Di kuburan, ternyata lebih banyak lagi yang datang. Bahkan ada sekelompok banyak orang yang menyolatkan Abah sebelum masuk area kuburan. Ada yang merekam situasi saat Ami Ucen memberikan khutbah. MasyaAllah, betapa banyaknya orang yang ikut mendoakan Abah dan menyaksikan pemakaman Abah. Merinding melihatnya. 

Ada seorang kenalan Abah yang menangis sesenggukan dengan tangis yang lumayan keras untuk orang laki-laki. Setelah tenang, beliau menghampiri anak-anak Abah dan bercerita.

"Dua pekan sebelum Abah masuk rumah sakit, Abah meminta saya memperbaiki lampu di area pemakaman. Ketika sudah saya perbaiki, saya sampaikan pada Abah. Eh, malah Abah minta digalikan kuburan. Saya melihat wajah Abah sangat serius."

MasyaAllah. Ternyata Abah sudah menyiapkan segalanya. Termasuk papan penutupnya juga sudah dibuat di pabriknya Abah. Bahkan Abah membuatnya banyak sekali, untuk para jenazah yang lain.

Sampai malam hari, aku merasa ini sebuah mimpi. Mimpi buruk. Yang sayangnya ini kenyataan. 

Abah, i love you sooo much.. 😭

Tidak ada komentar:

Posting Komentar