*Kalian mau mendengar cerita heroik? Bacalah hingga selesai.
Akan saya ceritakan kembali sebuah peristiwa heroik yang menakjubkan, kawan. Sebuah pengorbanan dari penduduk sebuah kota.
Alkisah, setelah pertempuran besar di belahan benua sana, musuh kembali ke kota itu dengan kekuatan penuh. Lebih besar, lebih menakutkan. Jenderal perang musuh, dengan congkak memerintahkan seluruh senjata di tangan penduduk agar diserahkan. Penduduk tentu menolak disuruh semena-mena, maka meletuslah perlawanan. Apa daya musuh lebih kuat. Mereka punya persenjataan berat, pesawat pengebom, tank, mortir, bukan tandingan penduduk kota yang hanya bermodal senapan ringan atau senjata tangan.
Musuh ganas sekali, mereka menghabisi semua perlawanan, kemudian akhirnya memberikan ultimatum agar kota dikosongkan. Mengusir penduduk. Gila, Kawan, itu benar-benar perintah menyakitkan. Dan penduduk kota harus melakukan apa? Mereka tidak bisa melawan, mereka terdesak, harus menerima kenyataan memilukan, diusir dari kota kelahiran mereka. Perintah pengosongan itu jahat dan zalim sekali. Tapi mau apa lagi? Melawan sama saja dengan mati? Anak2 tidak berdosa menjadi korban? Dihabisi? Bayangkan posisi kita yang benar2 terzalimi, tidak bisa melawan, kalah, hanya menatap lemah terhinakan.
Maka, malam itu, Kawan. Ratusan ribu penduduk kota tersebut memutuskan memberikan perlawanan terakhir, ratusan ribu penduduk kota memutuskan membakar rumah, harta benda mereka. Seluruh kota membara, asap hitam mengepul tinggi, lautan api menyergap kota. Setelah membakar kota, barisan panjang penduduk, orang tua, ibu2, anak2, mengungsi membentuk barisan yang mengular, mereka pergi ke lereng-lereng gunung, menjauh, sambil menatap tanah kelahiran mereka terbakar. Itu sungguh pertunjukan pengorbanan yang mengharukan. Itu gila. Mereka membakar rumah sendiri, bersedia melakukannya, agar kota tidak dikuasai musuh, dan menjadi markas musuh. Sementara pemuda2 gagah, dengan sisa tenaga terakhir, meledakkan gudang persenjataan, menghabisi apapun yang bisa dihabisi--meski ditukar dengan nyawa tersisa.
Apakah cerita heroik ini dalam legenda Yunani kuno? Tidak. Apakah cerita dahsyat ini ada dalam film2 aksi Hollywood? Juga tidak. Apakah cerita ini fiksi karangan tere liye? Tidak. Cerita ini dekat sekali. Itulah Bandung Lautan Api, tanggal 24 Maret 1946. Dari Cicadas hingga Cimindi, kota Bandung terbakar. Jika kalian sempat berkunjung ke kota ini, berdirilah di atas Bandung Utara atau Bandung Selatan, di lereng2 yang sekarang jadi tempat wisata, penuh dengan strawberry, FO atau tempat makan enak, maka sekarang bayangkanlah kota Bandung yg gemerlap oleh cahaya lampu, berubah menjadi merah, dibakar oleh penduduknya sendiri. Bayangkan asap hitam membuat gelap mata memandang. Ketika ratusan ribu penduduk kota bersedia mengorbankan apapun yang mereka miliki demi kepentingan masa depan yang lebih baik. Bersedia menelan pil pahit, kehilangan harta benda, demi sesuatu yang lebih berharga. Yakin. Mantap.
Dan sekarang, kisah tersebut telah tertinggal puluhan tahun silam. Saya tidak tahu apakah orang2 masih ingat--bahkan boleh jadi tidak peduli. Tanyakanlah kepada kakek-nenek kita yang masih hidup, yang menjadi saksi mata kejadian tersebut, boleh jadi ceritanya lebih mengharukan lagi.
Kita punya cerita heroik tersebut, Kawan. Ketika penduduk bersedia berkorban. Lantas pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita semua --terutama elit2 politik iyu-- bersedia berkorban hal yang sama demi masa depan, demi keputusan yang lebih bijak, demi kebaikan bersama? Atau jangan2, semua orang sibuk dengan kepentingan masing2, punya agenda masing2. Kita harus bersedia menelan pil pahit demi kebaikan bersama, bukan lari melindungi keinginan masing2.
Waktu itu, salah satu komandan tentara pemuda kita, bernama Mohammad Toha, yang baru berusia 19 tahun, tewas saat kejadian Bandung Lautan Api, dia dengan gagah berani membawa granat, meledakkan gudang amunisi tentara sekutu. Tewas bersama ledakan gudang amunisi tersebut. Usia 19 tahun, dia jelas bukan Rambo, juga bukan James Bond, tapi sejarah akan mencatat keberaniannya--setidaknya page saya akan mencatatnya lagi. Hari ini, salah satu jalan di kota Bandung memakai namanya, tapi entahlah, apakah itu sepadan dengan pengorbanannya.
Seorang anak muda bernama Toha, entah apa yang dipikirkannya, keberanian seperti apa yang dia punya, memutuskan memeluk granat, berlari menerobos barikade tentara Belanda, di bawah hujan tembakan serdadu penjajah, dia masuk ke dalam gudang senjata, meledak bersama granat yang dipeluknya. Apakah ini bunuh diri? Apakah ini syahid terindah?
Hari ini, kita mengenang mereka semua, hari pahlawan. Hari ini, jiwa kepahlawanan selalu ada di hati siapapun. Remaja yang menolak menyontek massal di sekolahnya. Guru yang mendidik murid2nya penuh cinta. Ibu rumah tangga yang membesarkan anak-anaknya, PNS yang amanah dan jujur. Siapapun yang melawan kemungkaran, kezaliman, korupsi, dsbgnya, sungguh ada nyala api pahlawan di sana.
Mari heningkan cipta sejenak pagi ini, melakukan refleksi atas perjuangan orang2 terdahulu, dan apa yang akan kita lakukan kemudian. Apakah kita akan mewarisi pengorbanan Toha, atau kita menambah daftar panjang penjajah, yang menjajah bangsanya sendiri saat berkuasa dengan tingkah korup, dsbgnya. Refleksikanlah.
*Tere Liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar