Selasa, 29 Oktober 2013

Orang Tua Ambisius


 
Judul tulisan kali ini sedikit mengundang kontroversi. Karena apa yang dimaksud ambisius setiap pribadi akan berbeda dengan yang lain.

Ambisius menurut kamus bahasa Indonesia artinya berkeinginan kuat untuk mencapai suatu harapan atau cita-cita. Karena itulah, apa yang diinginkan oleh orang tua yang ambisius?

Dalam beberapa hal, saya bersyukur dapat memiliki kekuatan untuk bertahan tidak menggunakan televisi dirumah. Namun kadangkala ketika silaturahmi, tentu saja kehadiran kotak ajaib itu tentu tidak dapat dihindari. Suatu kali, disiang hari, ada acara di televisi yang menarik hati saya untuk terus melihatnya. Yaitu sebuah ajang bocah.

Ya, sebuah ajang bocah yang mirip dengan ajang orang dewasa, hanya saja pelakunya anak-anak. Dimulai dari proses eliminasi yang membuat peserta yang tersingkir menangis kecewa. Bukan tidak mungkin anak yang masih bocah dan lugu itu kehilangan motivasi dan semangatnya.

Setelah dipilih, para kontestan menunjukkan bakatnya di panggung. Setiap minggunya akan ada satu peserta dieliminasi, hingga menyisakan satu orang pemenangnya. Ada yang menyanyi. Ada yang menari. Ada juga yang bermain sulap. Tapi saya yakin tidak ada yang mengaji :)

Lihat gaya anak-anak itu. Wajah mereka dimake-up berlebihan. Dengan pakaian yang aduhai, benar-benar pakaian dewasa tapi mini ukurannya. Mereka terlihat matang dan percaya diri. Tapi siapapun pasti tahu, mereka telah dilatih sebelumnya. Kematangan mereka justru seperti karbitan.

Pilih mangga yang matang karena dikarbit atau matang alami? Jelas rasanya akan lebih enak yang matang alami. Apalagi matang di pohon. Anak pun demikian. Anak yang dimatangkan sebelum waktunya, memang terlihat lucu. Tetapi itu jelas tidak baik untuk perkembangan psikisnya kelak. Saya akan mempelajari psikis anak-anak tersebut setelah konsultasi dengan ahlinya.

Yang jelas, ustadz psikolog Muhammad Fauzil Adhim melarang anak dibawah usia 12 tahun untuk mengikuti perlombaan. Maksudnya perlombaan yang serius, bukan sekedar permainan. Mereka masih lemah motivasinya, belum kuat menancap dalam kalbunya. Maka kekalahan dalam lomba bisa merusak motivasi anak-anak.

Siapa yang sebenarnya ingin tampil? Apakah anak-anak sekecil itu bisa menawarkan dirinya untuk tampil. Sedikit prosentasenya. Kebanyakan orang tuanya lah yang menampilkan anak-anaknya. Mereka begitu tergiur dengan hadiah yang bakal diperoleh bila anaknya menang. Mereka membayangkan ketenaran yang akan didapat.

Apakah orientasinya benar-benar ingin mengembangkan potensi anak? Ada berapa persen yang demikian?

Saya menyimak komentar orang tua yang anaknya menjadi bintang iklan sebuah produk. Ketika itu dia ditanya, mengapa anaknya dilarang untuk bermain sinetron. Padahal kesempatan anak itu besar, mengingat kemampuannya berakting, ditambah wajahnya yang lucu menggemaskan, dan suaranya yang bagus. Ayahnya menjawab,

“Untuk iklan yang tampil dua menit saja, anak saya harus bolak balik beberapa kali hingga memakan waktu beberapa hari. Sungguh hari-hari yang melelahkan. Saya tidak bisa membayangkan betapa lelahnya anak saya bila harus main sinetron.”

Bagaimana dengan honor yang tinggi yang akan diperoleh orang tua bila anaknya main sinetron?

“Yang harus bekerja itu adalah orang tua, bukan anak-anak. Maka akan sangat kejam bila saya memanfaatkan masa bermain dan belajar anak saya untuk mencari uang.”

Ya, benar sekali komentar ayah itu. Masa anak-anak adalah masa bermain dan belajar, seharusnya menjadi masa yang menyenangkan. Bukan masa-masa yang melelahkan dengan memeras tenaga mereka untuk mencari sesuatu yang sifatnya materialistis.

Anak menang lomba bulu tangkis, lomba berenang, lomba komputer, lomba olimpiade matematika, lomba mengaji, itu karena memang anak telah diasah bakatnya. Bakat yang mungkin bermanfaat untuk masa depannya. Bakat yang diasah berdasarkan kemampuan, bukan wajah. Tidak peduli seberapa buruk wajahnya, seberapa ganteng, asal kemampuannya bagus anak bisa menang. Yang kalah, bisa dimotivasi agar berlatih lebih serius. Bagaimana kalau fotomodel? Yang kalah apakah harus operasi plastik agar wajahnya bisa memenangkan kejuaraan fotomodel? Yang kalah lomba menyanyi, apakah harus mengubah pita suaranya yang memang sudah asli ciptaan Allah? Apalagi bila sistem kalah menangnya hanya dari perolehan suara, sungguh sangat tidak adil.

Nah.

Lalu, apakah tidak boleh menjadi orang tua yang ambisius? Tentu saja boleh. Sebagai orang tua muslim, harus memiliki keinginan yang kuat untuk anak-anaknya. mengarahkan mereka untuk tujuan hidup sebenarnya. Menjadikan akherat sebagai tujuan semua kegiatan dalam hidupnya.

Ambisiusnya orang tua muslim adalah menjadikan anaknya menjadi anak yang sholeh. Kalau tidak menjadi anak sholeh, anak apalagi? Itu satu-satunya pilihan yang bisa dilakukan orang tua muslim kepada anak-anaknya. ambisius itu sudah harus dilakukan sebelum anak lahir ke dunia.

Sesuai ajaran islam, dianjurkan untuk memilih pasangan hidup yang baik agar dapat mendidik anak-anaknya menjadi anak yang baik. Ketika anak hadir didalam kandungan, ketika anak lahir, ketika anak mulai berjalan dan berbicara, semua akan diarahkan untuk menjadikan anak menjadi anak yang sholeh. Mulai dari memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan bukan musik yang mengeraskan hati. Memberi mereka makanan yang halal dan toyyib. Memberikan mereka pakaian yang sesuai syariat meski masih kecil. Mendidik mereka untuk mengaji. Menjadi bingung ketika anaknya sudah besar dan belum bisa mengaji.

Usaha lain adalah memasukkan anaknya ke sekolah agama, sehingga tercipta budaya islam dalam hidupnya. Itulah ambisius orang tua yang dibolehkan, bahkan diharuskan. Terus menjaga bi’ah anak agar berada dalam bi’ah yang islami.

Ambisius orang tua muslim agar mendapat mahkota di akherat dengan menjadikan anaknya sebagai hafidz-hafidzoh. Ambisius orang tua agar mendapat amal jariyah, yaitu anak sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya, bahkan ketika orang tuanya sudah meninggal dunia.

Marilah menyadari apa yang sudah kita lakukan selama ini. Ambisius macam apakah yang kita rasakan saat ini?

Saya juga mengingat kalimat yang dibuat oleh seorang teman, yang mungkin tidak mirip aslinya, tetapi tidak mengubah maknanya.

“Saya tidak akan sedih bila nilai PKn mu rendah, tetapi kamu dengan sukarela menolong temanmu yang jatuh dari sepeda. Saya tidak akan sedih bila nilai matematikamu rendah, tetapi kamu tidak menghitung uang yang kamu sedekahkan pada pengemis tua itu. Saya tidak akan sedih bila nilai IPAmu rendah, tetapi kamu mampu memuji semua ciptaan Allah dengan tulus. Saya tidak akan sedih kamu kalah lomba menyanyi, tetapi kamu selalu menghibur temanmu yang sedang susah hati.”

Akhir kata, akan ada banyak pembahasan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Ini sekedar opini dari saya pribadi, berdasarkan hasil pengamatan, bacaan, dan pertanyaan dengan para ahli. Semoga bisa lebih membuka mata hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar