Judul tulisan
kali ini sedikit mengundang kontroversi. Karena apa yang dimaksud ambisius
setiap pribadi akan berbeda dengan yang lain.
Ambisius
menurut kamus bahasa Indonesia artinya berkeinginan kuat untuk mencapai suatu
harapan atau cita-cita. Karena itulah, apa yang diinginkan oleh orang tua yang
ambisius?
Dalam beberapa
hal, saya bersyukur dapat memiliki kekuatan untuk bertahan tidak menggunakan
televisi dirumah. Namun kadangkala ketika silaturahmi, tentu saja kehadiran
kotak ajaib itu tentu tidak dapat dihindari. Suatu kali, disiang hari, ada
acara di televisi yang menarik hati saya untuk terus melihatnya. Yaitu sebuah
ajang bocah.
Ya, sebuah
ajang bocah yang mirip dengan ajang orang dewasa, hanya saja pelakunya
anak-anak. Dimulai dari proses eliminasi yang membuat peserta yang tersingkir
menangis kecewa. Bukan tidak mungkin anak yang masih bocah dan lugu itu
kehilangan motivasi dan semangatnya.
Setelah
dipilih, para kontestan menunjukkan bakatnya di panggung. Setiap minggunya akan
ada satu peserta dieliminasi, hingga menyisakan satu orang pemenangnya. Ada yang menyanyi. Ada yang menari. Ada juga yang bermain
sulap. Tapi saya yakin tidak ada yang mengaji :)
Lihat gaya anak-anak itu. Wajah
mereka dimake-up berlebihan. Dengan pakaian yang aduhai, benar-benar pakaian
dewasa tapi mini ukurannya. Mereka terlihat matang dan percaya diri. Tapi
siapapun pasti tahu, mereka telah dilatih sebelumnya. Kematangan mereka justru
seperti karbitan.
Pilih mangga
yang matang karena dikarbit atau matang alami? Jelas rasanya akan lebih enak
yang matang alami. Apalagi matang di pohon. Anak pun demikian. Anak yang
dimatangkan sebelum waktunya, memang terlihat lucu. Tetapi itu jelas tidak baik
untuk perkembangan psikisnya kelak. Saya akan mempelajari psikis anak-anak
tersebut setelah konsultasi dengan ahlinya.
Yang jelas,
ustadz psikolog Muhammad Fauzil Adhim melarang anak dibawah usia 12 tahun untuk
mengikuti perlombaan. Maksudnya perlombaan yang serius, bukan sekedar
permainan. Mereka masih lemah motivasinya, belum kuat menancap dalam kalbunya.
Maka kekalahan dalam lomba bisa merusak motivasi anak-anak.
Siapa yang
sebenarnya ingin tampil? Apakah anak-anak sekecil itu bisa menawarkan dirinya
untuk tampil. Sedikit prosentasenya. Kebanyakan orang tuanya lah yang
menampilkan anak-anaknya. Mereka begitu tergiur dengan hadiah yang bakal
diperoleh bila anaknya menang. Mereka membayangkan ketenaran yang akan didapat.
Apakah
orientasinya benar-benar ingin mengembangkan potensi anak? Ada berapa persen yang demikian?
Saya menyimak
komentar orang tua yang anaknya menjadi bintang iklan sebuah produk. Ketika itu
dia ditanya, mengapa anaknya dilarang untuk bermain sinetron. Padahal
kesempatan anak itu besar, mengingat kemampuannya berakting, ditambah wajahnya
yang lucu menggemaskan, dan suaranya yang bagus. Ayahnya menjawab,
“Untuk iklan
yang tampil dua menit saja, anak saya harus bolak balik beberapa kali hingga
memakan waktu beberapa hari. Sungguh hari-hari yang melelahkan. Saya tidak bisa
membayangkan betapa lelahnya anak saya bila harus main sinetron.”
Bagaimana
dengan honor yang tinggi yang akan diperoleh orang tua bila anaknya main
sinetron?
“Yang harus
bekerja itu adalah orang tua, bukan anak-anak. Maka akan sangat kejam bila saya
memanfaatkan masa bermain dan belajar anak saya untuk mencari uang.”
Ya, benar
sekali komentar ayah itu. Masa anak-anak adalah masa bermain dan belajar,
seharusnya menjadi masa yang menyenangkan. Bukan masa-masa yang melelahkan
dengan memeras tenaga mereka untuk mencari sesuatu yang sifatnya materialistis.
Anak menang
lomba bulu tangkis, lomba berenang, lomba komputer, lomba olimpiade matematika,
lomba mengaji, itu karena memang anak telah diasah bakatnya. Bakat yang mungkin
bermanfaat untuk masa depannya. Bakat yang diasah berdasarkan kemampuan, bukan
wajah. Tidak peduli seberapa buruk wajahnya, seberapa ganteng, asal
kemampuannya bagus anak bisa menang. Yang kalah, bisa dimotivasi agar berlatih
lebih serius. Bagaimana kalau fotomodel? Yang kalah apakah harus operasi
plastik agar wajahnya bisa memenangkan kejuaraan fotomodel? Yang kalah lomba
menyanyi, apakah harus mengubah pita suaranya yang memang sudah asli ciptaan
Allah? Apalagi bila sistem kalah menangnya hanya dari perolehan suara, sungguh
sangat tidak adil.
Nah.
Lalu, apakah
tidak boleh menjadi orang tua yang ambisius? Tentu saja boleh. Sebagai orang
tua muslim, harus memiliki keinginan yang kuat untuk anak-anaknya. mengarahkan
mereka untuk tujuan hidup sebenarnya. Menjadikan akherat sebagai tujuan semua
kegiatan dalam hidupnya.
Ambisiusnya
orang tua muslim adalah menjadikan anaknya menjadi anak yang sholeh. Kalau
tidak menjadi anak sholeh, anak apalagi? Itu satu-satunya pilihan yang bisa
dilakukan orang tua muslim kepada anak-anaknya. ambisius itu sudah harus
dilakukan sebelum anak lahir ke dunia.
Sesuai ajaran
islam, dianjurkan untuk memilih pasangan hidup yang baik agar dapat mendidik
anak-anaknya menjadi anak yang baik. Ketika anak hadir didalam kandungan,
ketika anak lahir, ketika anak mulai berjalan dan berbicara, semua akan
diarahkan untuk menjadikan anak menjadi anak yang sholeh. Mulai dari memperdengarkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan bukan musik yang mengeraskan hati. Memberi mereka
makanan yang halal dan toyyib. Memberikan mereka pakaian yang sesuai syariat
meski masih kecil. Mendidik mereka untuk mengaji. Menjadi bingung ketika
anaknya sudah besar dan belum bisa mengaji.
Usaha lain
adalah memasukkan anaknya ke sekolah agama, sehingga tercipta budaya islam
dalam hidupnya. Itulah ambisius orang tua yang dibolehkan, bahkan diharuskan.
Terus menjaga bi’ah anak agar berada dalam bi’ah yang islami.
Ambisius orang
tua muslim agar mendapat mahkota di akherat dengan menjadikan anaknya sebagai
hafidz-hafidzoh. Ambisius orang tua agar mendapat amal jariyah, yaitu anak
sholeh yang selalu mendoakan orang tuanya, bahkan ketika orang tuanya sudah
meninggal dunia.
Marilah
menyadari apa yang sudah kita lakukan selama ini. Ambisius macam apakah yang
kita rasakan saat ini?
Saya juga
mengingat kalimat yang dibuat oleh seorang teman, yang mungkin tidak mirip
aslinya, tetapi tidak mengubah maknanya.
“Saya tidak
akan sedih bila nilai PKn mu rendah, tetapi kamu dengan sukarela menolong
temanmu yang jatuh dari sepeda. Saya tidak akan sedih bila nilai matematikamu
rendah, tetapi kamu tidak menghitung uang yang kamu sedekahkan pada pengemis
tua itu. Saya tidak akan sedih bila nilai IPAmu rendah, tetapi kamu mampu
memuji semua ciptaan Allah dengan tulus. Saya tidak akan sedih kamu kalah lomba
menyanyi, tetapi kamu selalu menghibur temanmu yang sedang susah hati.”
Akhir kata,
akan ada banyak pembahasan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Ini sekedar
opini dari saya pribadi, berdasarkan hasil pengamatan, bacaan, dan pertanyaan
dengan para ahli. Semoga bisa lebih membuka mata hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar