Pelajaran Membelajari Anak
Menjelang test begini ada kebiasaan jelek yang sebenarnya
disadari sepenuhnya, namun entah kenapa masih saja tetap dilakukan. Orang tua
harus mendampingi anaknya untuk belajar setiap mata pelajaran yang akan
digunakan untuk test selama seminggu ke depan.
Sebuah kebiasaan jelek? Ya. Kebiasaan jelek. Karena
kebiasaan yang baik adalah belajar tidak harus menunggu adanya test. Belajar harus
setiap hari. Bila dipelajari setiap hari sedikit demi sedikit, tidak akan
terasa. Tetapi bila menjelang test begini, adanya kebingungan karena banyaknya
materi yang harus dipelajari dalam waktu bersamaan.
Ada pelajaran PKn, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, Matematika,
Bahasa Inggris, Bahasa Jawa, Fiqih, Aqidah Akhlak, Al-Qur’an dan Hadits, SKI, Tahfidz,
Bahasa Arab. Jadi total ada 13 mata pelajaran. Masing-masing dengan hafalan
yang cukup banyak juga.
Saya sendiri jadi berpikir. Ketika dewasa begini,
rasa-rasanya ada banyak ilmu yang tidak ada gunanya. Bukan sekedar kurang
bermanfaat, tetapi ada juga yang benar-benar tidak bermanfaat. Tidak ingin saya
sebutkan apa, yang jelas, ilmu tersebut tidak pernah saya gunakan sama sekali
sampai detik ini.
Tapi ada ilmu-ilmu yang sangat saya perlukan saat ini, luput
saya pelajari ketika masa sekolah. Ilmu memasak contohnya. Memasak bukan
sekedar hobi, tetapi kewajiban bagi seorang ibu seperti saya. Ilmu merawat
anak. Ilmu psikologi keluarga. Ilmu menjahit.
Ah, untuk menjadi seorang dokter profesional, maka perlu
sekolah khusus bertahun-tahun. Untuk menjadi seorang insinyur handal, juga
perlu sekolah khusus bertahun-tahun. Juga seorang penjahit profesional, juga
perlu belajar bertahun-tahun.
Apatah lagi untuk menjadi seorang ibu yang teramat berat
tugasnya, mengapa tidak ada mata pelajaran untuk menghadapinya? Sama seperti
seorang dokter dengan resiko nyawa pasiennya, seorang ibu juga memiliki resiko
perkembangan fisik dan psikis anaknya untuk berpuluh tahun kedepan, bahkan
untuk akheratnya.
Mengapa tidak ada persiapan khusus untuk menjadi seorang
ibu? Padahal tugas ibu sebagai seorang koki, penjahit, pembantu rumah tangga,
desainer, manajer, akuntan keuangan, guru, entertainer, motivator, dan
lain-lain. Untuk menjalankan tiap fungsinya dengan baik, saya kira perlu adanya
persiapan khusus.
Juga menjadi seorang ayah, pun perlu persiapan. Bukan asal-asalan
bisa bekerja dan menafkahi anak keluarganya saja. Seorang ayah harus
memperlakukan istrinya dengan baik, mendidik anak-anaknya dengan baik. Ayah adalah
motivator utama keluarga. Ayah juga merupakan pahlawan dan teladan bagi
keluarganya.
Setiap anak yang tumbuh besar, akan menjadi orang tua yang
mendidik anak-anaknya kelak. Jadi peran orang tua adalah menyiapkan anaknya
dengan sebaik-baik persiapan agar dapat menyiapkan anak-anaknya kelak.
Ah, kata beberapa orang, saya ini terlalu banyak mikir. Saya
kira, apa bedanya binatang dengan manusia. Manusia diberi akal untuk berpikir. Menghayati
setiap kehidupan yang dijalaninya, untuk diambil hikmah dan pelajaran.
Maka hikmah yang saya pelajari ketika membelajari anak
menghadapi test kali ini adalah, betapa beratnya beban yang dipikul sedikit
demi sedikit tidak akan terasa berat. Namun bila langsung diambil sekaligus,
makan hasilnya tidak akan maksimal dan terasa lebih berat, meski jumlahnya
sama. Juga, disamping pelajaran sekolah, ada pelajaran lain yang harus
diberikan orang tua kepada anaknya, yaitu pelajaran menghadapi kehidupannya
kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar