Kamis, 10 Oktober 2013

Warisan untuk Anak-Anak Kita




Sebagai orang tua, adakalanya kita khawatir bagaimana nasib anak-anak kita, bila orang tuanya sudah meninggal dunia. Apabila dirasa anak-anak tersebut sudah mapan, maka orang tua akan merasa tenang. Tetapi, sesungguhnya, apakah definisi mapan itu?

Mari kita sejenak merenungi surat Al-Baqarah ayat 133
“Apakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu, dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”

Sungguh Nabi Ya’qub pada ayat itu telah memberi keteladanan kepada kita semua. Nabi Ya’qub begitu mengkhawatirkan keadaan anaknya sepeninggal beliau. Namun bukan warisan harta yang beliau khawatirkan. Tetapi keadaan aqidah dan iman anak-anaknya yang beliau perhatikan.

Itu terjadi di zaman dulu. Zaman sekarang pun sama, kita harus tetap khawatir tentang keadaan aqidah dan iman anak-anak kita apabila kelak kita dipanggil Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apakah mereka tetap meyakini ke-Esa-an Allah, atau mereka bisa goyang hanya dengan sekarton mie instan? Apakah mereka bisa luntur imannya hanya dengan sekarung beras?

Atau yang lebih halus lagi, apakah pemikiran mereka rapuh dengan serbuan pola pikir liberal dan aliran sesat yang semakin lama semakin banyak dan berkembang? Apakah iman mereka kuat menghadapi godaan-godaan dunia yang banyak dan menyilaukan?

Adakah kelak mereka akan selalu mengirimkan doa ampunan dan kasih sayang untuk kedua orang tuanya setiap sesudah sholat? Ujung dari semuanya, apakah mereka akan menjadi anak yang sholeh? Sungguh itulah yang seharusnya menjadi kekhawatiran setiap orang tua terhadap anak-anaknya.

Pendidikan, adalah kuncinya. Mendidik anak-anak dengan aqidah dan keimanan adalah wajib hukumnya. Itu adalah kunci mereka dalam menghadapi kehidupan mereka kelak. Itu adalah kunci bagi orang tua sebagai tiket masuk surga.

Mendidik anak-anak sepenuhnya kewajiban orang tua. Maka orang tua harus selalu memantau perkembangan anak-anak mereka, dan meluruskan yang salah sedini mungkin. Memasukkan anak-anak ke sekolah dengan aqidah yang lurus. Yang mementingkan ilmu agama dibanding ilmu dunianya.

Yang terjadi saat ini adalah, orang tua memasrahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak kepada guru di sekolah. Mereka hanya mementingkan bagaimana nilai test mereka kelak. Tak ayal lagi, les matematika, bahasa inggris, dan pelajaran umum lainnya pun laris manis. Bukannya tidak boleh. Tetapi yang harus digarisbawahi, adalah bagaimana pendidikan agama mereka? Apakah sudah cukup kuat?

Apakah mereka sudah hafal rukun Islam dan rukun Iman serta pemahamannya? Apakah mereka sudah bisa membaca Al-Qur’an dan menghafalkannya? Apakah mereka sudah tahu gerakan sholat yang benar dan bacaan-bacaannya? Apakah mereka sudah menghafal dan melantunkan doa-doa?

Jangan merasa tenang bila usia mereka sudah besar, tetapi belum bisa membaca Al-Qur’an. Jangan merasa tenang bila usia mereka sudah 7 tahun dan mereka belum rutin melakukan sholat, apalagi 10 tahun. Jangan merasa tenang, bila anak belum berpakaian sesuai syariat.

Teruslah berusaha untuk memberikan warisan ilmu aqidah dan keimanan yang kuat kepada generasi berikutnya. Mereka kelak akan hidup di zaman yang berbeda dengan orang tuanya. Zaman dimana fitnah dan godaan akan lebih gencar lagi. Mereka harus punya bekal yang cukup kuat untuk menahan bahkan melawannya.

Jangan khawatir dengan harta anak-anak kelak, toh rezeki di tangan Allah dan akan dibagikan kepada hamba yang dikehendaki-Nya dengan doa dan usaha. Niatkan memberi pendidikan yang layak kepada anak-anak bukan untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi untuk memantapkan aqidah mereka, menambah keimanan mereka. Sehingga mereka akan kokoh berdiri selalu di jalan-Nya. Amin Ya Robb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar