Pada dasarnya saya tidak tertarik sedikitpun membicarakan politik. Apalagi pada hawa panas seperti sekarang ini, menjelang pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Dua pasang calon yang diusung beramai-ramai dibicarakan. Kalau mitos orang Jawa bilang, bila kamu tiba-tiba menggigit lidahmu secara tidak sengaja dan berulang-ulang alias kecokot-cokot, atau mata bergetar-getar alias kedutan, itu tandanya ada yang sedang membicarakan dirimu tanpa sepengetahuan kamu. Bayangkan saja para dua pasang calon ini, bagaimana keadaan lidah dan mata mereka dibicarakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Hahaha....
Pasangan yang manapun diulas kebaikan dan kekurangannya. Dari mulai ahli politik beneran, wartawan, hingga ahli politik dadakan dan musiman. Semua saya baca dari kedua belah kubu yang bersaing. Kesimpulannya? Ah, semakin membuat saya sedih. Apanya? Ya, tingkah polah mereka dan ucapan-ucapan masyarakat. Para komentator dunia maya yang merasa malaikat tidak online sehingga tidak mencatat komentar mereka. Bebas, lepas. Merasa benar dan bahagia.
Dari segi calonnya sendiri, aneh. Keduanya tidak ada yang memiliki ghiroh Islam yang kuat. Yang satu tidak faham Islam secara utuh, sekedar sholat saja tidak nampak bagus, apalagi sempurna. Tidak faham syi'ah, bahkan merangkulnya. Ahmadiyah yang sesat juga dipeluk. Beritanya banyak yang dipalsu dan dipelintir pendukungnya. Hobinya juga pura-pura yang akhirnya ketahuan. Aduh mama sayangeeee...
Yang satunya lagi terlihat gagah dan sholatnya juga lumayan meski tidak pernah tampak jadi imam. Merasa syi'ah dan ahmadiyah adalah pengganggu stabilitas negara, jadi hendak ditertibkan. Beritanya selalu bagus dan apa adanya. Fitnah terhadapnya juga dapat dipatahkan dengan elegan. Tapi... pasangannya terekam minta doa restu dari kuburan habaib. Menyedihkan....
Tidak ada manusia sempurna. Pun Sultan Hasanal Bolkiah dari Brunei Darussalam yang menerapkan Syariah Islam di negaranya. Juga pasti memiliki banyak kekurangan. Hanya saja sebagai orang beriman, jangan sampai kekurangan itu terletak pada sisi Aqidah. Karena aqidah yang rusak bisa menimbulkan kesyirikan dan bila sampai meninggal dunia sementara belum bertaubat dari kesyirikannya, bisa-bisa tidak diampuni dosanya. Kan mengerikan tuh...
Aduh, saya bukan ahli agama. Tapi ilmu agama masih saya peroleh dari kecil dibanding ilmu politik. Politik dakwah Rosulullah Sallallahu 'Alaihi wa Sallam yang saya pelajari juga mengutamakan aqidahnya. Karena bila aqidahnya mapan, ibadah dan akhlaknya insyaAllah bisa terbentuk dengan mudah. Sementara ilmu politik yang saya lihat akhir-akhir ini sungguh berbeda. Dan saya tidak bisa memahaminya.
Bagaimana dengan ucapan para komentator? Sungguh saya sangat heran. Dibayar berapa sih kok dengan ngototnya membela calon tersebut? Mungkin ada yang berkata, ini bukan masalah uang. Ini masalah prinsip. Saya semakin bingung. Prinsip? Prinsip apa yang kamu pertahankan? Ingin Indonesia yang lebih baik? Jadi kamu percaya ada sistem yang lebih baik dari Islam, wahai saudaraku sesama muslim? Hati-hati dengan ucapan kamu, ikhwani....
Kamu katakan pula, memilih yang madharatnya lebih kecil. Bukan berarti yang madharatnya lebih kecil adalah pilihan yang baik kan? Jika kamu disuru memilih antara dosa bid'ah dan dosa mencuri, mana yang madharatnya lebih kecil? Dosanya lebih kecil dosa mencuri. Dosa bid'ah lebih banyak daripada dosa mencuri. Maka apakah kamu akan tetap mencuri sambil berkata, ini madharatnya lebih kecil? Semoga analogi saya salah... terlalu ngeri membayangkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar