Kemarin saya menulis status di facebook tentang seorang ibu yang membiarkan anaknya tidak mengaji dengan alasan tidak logis. Eh, ada yang menegur suami, katanya dengan status semacam itu takut bila ada yang tersinggung.
Saya ketawa. Kenapa harus takut ketika yang saya ceritakan adalah nyata? Kenapa harus takut menyajikan sesuatu yang bisa diambil ibrohnya, toh saya tidak menyebut nama sama sekali dalam status saya.
Yang lebih aneh lagi, kenapa harus tersinggung? Kalau kejadian itu terjadi pada dirinya, bukankah seharusnya dia malu dan berusaha berpikir dan mengubah keadaan? Dan tidak akan tersinggung kecuali orang-orang yang memang membiarkan anaknya tidak mengaji.
Nah, pertanyaannya adalah, bila sesuatu itu adalah ilmu, dan disampaikan oleh siapapun, mengapa harus marah bila ternyata dirinya tersinggung. Contohnya selain kasus diatas, adalah kasus berikut ini yang menimpa saya beberapa waktu dulu.
Saya menulis di status saya masalah riya. Tulisan saya merupakan resume kajian sabtu sore yang rutin saya ikuti. Apa yang terjadi setelah saya posting? Seorang kawan marah pada saya dan menuduh saya telah memvonis dirinya riya. Padahal saya tidak berniat apa-apa, kok bisa dia menyimpulkan hal semacam itu. Kemarahannya agak besar waktu itu. Tapi untung suaminya bijaksana dan mengarahkannya. Dan akhirnya kawan saya ini meminta maaf kepada saya.
Mengapa sih orang gampang tersinggung? Saya tahu jawabannya karena dulu saya juga sangat mudah tersinggung. Saya dulu sangat berkeras hati. Menganggap semua orang salah dan hanya saya yang benar. Marah bila ada yang menegur saya dan mengatakan orang yang menasehati saya adalah sok suci dan sok paling benar.
Mengapa? Yah mungkin ini akibat bentukan saja. Saya adalah anak perempuan satu-satunya. Biasa dipuji dimana-mana karena saya langganan rangking satu. Meski orang tua sangat tidak memanjakan, bahkan sangat tegas terhadap saya, toh saya pernah jadi manusia yang gampang tersinggung.
Lalu, orang tua saya jugalah yang merubah sifat saya itu. Saya diarahkan untuk tetap kuliah meski sudah punya anak. Tujuannya agar saya memperoleh pengalaman kehidupan yang lebih baik. Setelah kuliah, saya bergaul dengan banyak orang melalui seminar-seminar parenting yang saya ikuti. Saya juga bergaul baik di facebook.
Juga nasehat tiada henti dari Abah dan Mamah yang pada akhirnya menyentuh relung kalbu terdalam. Ya, saya berubah. Saya menjadi manusia yang lapang hati dan tidak mudah tersinggung. Prosesnya lama dan itu sedang saya nikmati hingga saat ini. Ada saja hambatan yang hadir, namun semua saya lewati dengan susah maupun mudah.
Jadi kesimpulan saya, orang yang mudah tersinggung dan menganggap dirinya paling benar adalah orang-orang yang kurang bergaul, dan kurang mendapat ilmu. Jadi dia tidak tahu bahwa sebenarnya diluar sana ada banyak orang yang jauh lebih baik dari dirinya. Yang dia tahu hanya dirinya saja melalui cermin. Apalagi jika tidak suka membaca buku dan hobi menonton televisi. Rusaklah kepribadiannya.
Bagaimana mengobati kekerasan hati itu?
Yang pertama adalah niat dan kemauan yang kuat. Niat mengubah kepribadiannya yang tidak baik dan merugikan orang lain. Merugikan? iyalah.. Siapa yang nyaman coba, terpaksa hidup dengan orang yang mudah tersinggung. Gerak begini salah, gerak begitu salah.
Yang kedua, adalah dengan memperbanyak ilmu. Ilmu bisa didapat dari mana saja. Buku-buku bagus telah banyak diterbitkan. Kajian, seminar, talkshow, hingga majelis ta'lim ada dimana-mana. Menambah ilmu akan menambah wawasan yang bagai ilmu padi, kian berisi kian menunduk. Akan merasa bahwa dirinya ternyata masih bodoh dan harus banyak belajar.
Saya salut dengan seorang pembantu yang kehidupannya pas-pasan, bekerja keras. Namun dia tidak akan pernah mau bekerja apabila ini adalah jadwal kajian rutinnya. Dia selalu menyempatkan dirinya seminggu 3x untuk menimba ilmu. Salut akan keistiqomahannya dan semangatnya yang luar biasa. Nah, bagaimana dengan majikannya yang tidak pernah ikut kajian? Di mata Allah sepertinya lebih tinggi derajat si pembantu dari majikannya. Hehehehe...
Yang ketiga, adalah dengan memperbanyak pergaulan dengan orang baik. Perhatikan dengan level seberapa kita bergaul. Bukan hendak mengkasta-kastakan manusia. Level disini adalah dari tingkat keilmuannya dan akhlaknya. Kalau hanya gaul dengan yang hobi nge-mall, jalan-jalan kesana sini sambil hura-hura, maka selevel itulah tingkatan kita. Tapi bergaul dengan orang yang suka belajar akan semakin menambah keilmuan kita.
Hai, bukankah mencari ilmu itu wajib hukumnya? Bahkan semakin banyak ilmunya, semakin tinggi derajatnya dihadapan Allah.
Nah, balik ke sifat keras hati dan mudah tersinggung tadi, perlahan-lahan akan luntur bila Allah berkehendak. Sesuai usaha yang telah kita lakukan tentunya. Karena Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga kaum itu berusaha mengubah keadaannya.
Nah, bila semua usaha telah dilakukan, ternyata masih mudah tersinggung, tidak ada salahnya mencoba ruqyah. Jangan-jangan ada gangguan jin? :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar