Thalhah bin Ubaidillah
Pendeta dari Bushra
Thalhah adalah seorang pedagang yang pandai. Sebagaimana kebiasaan bangsa
arab waktu itu, mereka selalu mengadakan perjalanan dagang untuk menjual
barang-barang mereka di suatu tempat sekaligus membeli barang-barang yang akan
dijual di Mekkah. Meskipun usianya masih muda, Thalhah dapat mengambil
keuntungan yang lebih banyak dibandingkan pedagang lain yang usianya lebih tua.
Thalhah dan para pedagang lainnya sedang berdagang di kota Bushra. Disana tinggallah seorang
pendeta yang tekun beribadah. Pendeta itu berteriak diantara kumpulan para
pedagang.
“Adakah diantara kalian yang berasal dari Mekkah?” tanyanya. Thalhah pun
maju dan mendekat kea rah pendeta itu.
“Ya, saya berasal dari Mekkah.” Jawab Thalhah.
“Apakah sudah ada diantara kalian orang yang bernama Ahmad (nama lain
dari Muhammad)?” tanyanya lagi.
“Ahmad yang mana yang dimaksud?” Tanya Thalhah.
“Ahmad bin Abdillah bin Abdul Muthalib. Pada bulan ini pasti akan muncul
sebagai nabi dan penutup para nabi. Kelak ia akan berhijrah dari negrimu ke
negri berbatu-batu hitam yang banyak ditanami kurma. Ia akan pindah ke negri
subur dan makmur. Sebaiknya engkau segera menemuinya, anak muda.” Pendeta itu
memberi penjelasan. Thalhah sangat penasaran dengan apa yang diucapkan pendeta
itu.
Rasa ingin tahunya sudah tidak tertahankan lagi. Tanpa menunggu para
pedagang lain menyelesaikan urusannya, Thalhah pulang terlebih dahulu. Thalhah
segera menemui keluarganya dan bertanya,
“Apa yang terjadi ketika aku pergi?” Tanya Thalhah.
“Muhammad bin Abdullah mengaku sebagai nabi dan Abu Bakar telah
mempercayai dan mengikutinya.” Jawab mereka.
“Muhammad dan Abu Bakar?” pikir Thalhah, “Keduanya tidak mungkin saling
membantu untuk kesesatan. Mereka pasti tahu bahwa yang mereka yakini itu benar.”
Thalhah pun segera menemui Abu Bakar. Sebagai sesame pedagang, keduanya
telah bersahabat lama.
“Benarkah Muhammad telah menjadi nabi dan kamu mengikutinya?” Tanya
Thalhah.
“Ya, itu benar.” Jawab Abu Bakar. Mereka pun duduk bersama saling
bertukar cerita. Abu Bakar menceritakan Nabi Muhammad yang mendapat wahyu di
gua Hira’. Sedangkan Thalhah bercerita tentang pendeta yang ditemuinya di
Bushra.
Dengan begitu, semakin yakinlah Thalhah bahwa apa yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad adalah benar. Thalhah dan Abu Bakar pergi menuju rumah Nabi
Muhammad. Dengan penuh keyakinan, Thalhah pun masuk Islam.
Keislaman Thalhah membuat keluarganya sangat marah. Terutama ibunya.
Ibunda Thalhah selalu mencaci maki Thalhah dengan kata-kata yang menyakitkan.
Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang
menyeret Abu Bakar dan Thalhah mengikat keduanya menjadi satu dan
mendorong ke algojo hingga darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini.
Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar dan Thalhah digelari
Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia.
Syahid yang Hidup
Pada perang Uhud, pasukan Islam mengalami kekalahan di akhir peperangan.
Banyak pasukan yang melarikan diri dari peperangan. Tinggal 11 orang Anshar dan
Thalhah yang mengelilingi Nabi Muhammad dan menjaga beliau dari serbuan orang
kafir.
“Siapa berani melawan mereka, kelak akan menjadi temanku di Surga.” Sbada
Nabi Muhammad memberi semangat pada pasukan Islam.
“Saya berani!” jawab Thalhah.
“Tidak.” Jawab Nabi Muhammad, “Kau harus berada di tempatmu.”
Maka satu persatu dari 11 orang Anshar itu pun maju dan melawan orang
kafir hingga semuanya syahid. Hanya tertinggal Nabi Muhammad dan Thalhah saja.
“Sekarang giliranmu, Thalhah!” Nabi Muhammad memberi izin Thalhah untuk
menyerang pasukan kafir.
Thalhah pun menyerang mereka dengan sabetan pedangnya yang terampil.
Banyak dari pasukan kafir yang terbunuh di tangan Thalhah. Tapi Thalhah juga
menyadari bahwa Nabi Muhammad dalam bahaya. Wajah Nabi Muhammad terluka dan
dari pipinya mengalir darah segar. Nabi Muhammad menahan sakit yang amat
sangat.
Melihat itu, Thalhah menjadi sangat marah. Dengan tangan kirinya, Thalhah
membantu Nabi Muhammad untuk naik ke atas bukit dan berlindung. Sementara
tangan kanannya terus memainkan pedangnya ke arah musuh. Setelah Nabi Muhammad
mendapat tempat yang aman, Thalhah kembali melanjutkan serangannya pada pasukan
kafir.
Abu Bakar datang menemui Nabi Muhammad bersama Abu Ubaidah.
“Cepat! Bantulah Thalhah…!” kata Nabi Muhammad. Abu Bakar segera mencari
Thalhah. Thalhah pun ditemukan dalam keadaan pingsan. Sekujur tubuhnya terdapat
lebih dari 70 luka terkena pedang, lembing, dan anak panah. Pergelangan
tangannya pun putus sebelah.
Nabi Muhammad mengira Thalhah sudah gugur. Ternyata Thalhah masih hidup.
Karena itulah Thalhah diberi gelar syahid oleh Nabi Muhammad meskipun Thalhah
masih hidup.
“Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami
kematiannya, maka lihatlah Thalhah,” sabda Nabi Muhammad. Hal itu juga
dikatakan ALLAH dalam firmanNya : "Di
antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara
mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah
janjinya."
Sejak saat itu, bila ada orang yang membicarakan perang Uhud bersama Abu
baker, maka Abu Bakar akan menjawab,
“Perang hari itu adalah perang milik Thalhah seluruhnya hingga akhir
hidupnya.”
Thalhah yang Dermawan
Semua sahabat yang mengnal Thalhah akan mengakui bahwa Thalhah sangat
dermawan. Dengan ringan Thalhah selalu membagikan hartanya pada siapa saja yang
membutuhkan. Thalhah menginfakkan hartanya bila diperlukan untuk berperang di
jalan Allah.
Thalhah juga mencukupi kebutuhan keluarga dan kerabatnya. Thalhah menikahkan
anak-anak yatim mereka, memberi pekerjaan, dan melunasi hutang-hutang mereka.
Suatu hari di rumah, Thalhah nampak sangat sedih. Wajahnya murung.
Istrinya pun bertanya,
“Apa yang membuatmu bersedih?” tanyanya.
“Uang yang ada ditanganku ini begitu banyak sehingga membuatku susah. Apa
yang harus aku lakukan?” jawab Thalhah dengan risau.
“Jangan susah, segera saja bagikan semua uang yang kau pegang.” Jawab
istrinya. Thalhah pun segera membagi-bagikan hartanya tanpa tersisa. Setelah
itu, barulah Thalhah merasa tenang.
Thalhah Syahid di Perang Jamal
Dalam perang Jamal, pasukan Ali bin Abi Thalib yang saat itu menjadi
khalifah, melawan pasukan muslimin juga yang menentangnya. Istri Nabi Muhammad,
Aisyah Ummul Mukminin ada di barisan yang menentang Ali. Begitu juga Thalhah
dan Zubair.
Ali sangat sedih karena harus berperang melawan saudara-saudaranya sesama
Muslim. Karena itulah Ali memanggil Thalhah dan Zubair untuk berbicara pada
mereka.
“Wahai Zubair, pantaskah kau berperang bersama istri Nabi Muhammad
sedangkan istrimu kau tinggalkan di rumah?” Tanya Ali. Zubair dan Thalhah
tertunduk diam.
“Ingatkah kau, Zubair. Ketika kita sedang duduk bersama dan Nabi Muhammad
datang melewati kita dan bertanya kepadamu, ‘Apakah kau mencintai Ali?” kaupun
menjawab, “Masa saya tidak mencintai sepupuku yang satu agama denganku.’ Waktu
itu Nabi Muhammad berkata lagi, ‘Hai Zubair, demi Allah, bila engkau
memeranginya, jelas engkau berlaku dholim kepadanya.’”
Zubair pun teringat akan peristiwa itu dan membenarkannya. Zubair dan
Thalhah pun tersadar, bahwa mereka telah memerangi keluarga Nabi Muhammad.
Mereka pun mundur dari peperangan. Meskipun telah mundur, mereka tetap diikuti
oleh musuh. Thalhah pun terkena panah dan akhirnya syahid menghadap Robb-Nya.
Ali bin Abi thalib menguburkan jenazah Thalhah dan Zubair dengan
berlinangan air mata. Ali berkata,
“Aku telah mendengar dengan kedua telingaku, bahwa Nabi Muhammad
bersabda, ‘Thalhah dan Zubair adalah tetanggaku di Surga’”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar