Selasa, 18 Juni 2019

Mendekatlah Kepada yang Awal

Oleh : Mohammad Fauzil Adhim

💦💧💦💧💦💧

Semakin jauh kita meninggalkan masa-masa kenabian, maka ibarat sungai ia akan semakin banyak tercampuri kotoran yang sebagiannya telah menjadi satu.

Air yang tampak paling jernih, belum tentu menandakan ia bersih dari kotoran. Boleh jadi kontaminannya sangat banyak, bahkan amat menakutkan, tetapi tertutupi oleh kaporit atau hal lain sehingga tak tampak di mata hati kita. Atau hati kita yang telah demikian rabun disebabkan terlalu akrab dengan maksiat, terlalu dekat pula dengan kekeliruan maupun kerusakan, dekat dengan syubhat.

Semakin jauh meninggalkan mata air kenabian, semakin perlu kita kembali melihat bagaimana para sahabat dan generasi terbaik yang hidup di awal-awal pasca wafatnya Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, yakni para tabi’in maupun tabi’ut tabi’in, menjalani dan memahami agama ini.

Jika kita asing dengannya, atau bahkan hampir-hampir tak mengenalinya, maka kita akan semakin sulit menemukan sekaligus menggenggam erat apa yang sungguh-sungguh datang dari agama ini. Atau jangan-jangan kitalah yang mudah percaya kepada perkataan yang dinisbahkan kepada agama, padahal orang-orang shalih berilmu yang sungguh-sungguh memahami agama ini tak mengenal perkataan tersebut; baik dari generasi para sahabat radhiyallahu ‘anhum maupun generasi yang kemudian hingga zaman yang lebih dekat dengan kita

Sesungguhnya beliau telah bersabda:

سَيَكُوْنُ فِـيْ آخِرِ أُمَّتِيْ أُنَاسٌ يُحَدِّثُوْنَكُمْ مَـا لَـمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Pada akhir zaman akan ada kaum yang berbicara kepada kalian dengan sesuatu yang tidak pernah kalian dengar dan tidak pula pernah didengar nenek moyang kalian. Maka hati-hatilah terhadap mereka.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban & Al-Hakim).

Kaidah ini berlaku dalam segala urusan, termasuk mendidik anak. Sesungguhnya setiap anak kita lahir, apa pun zamannya, pasti dalam keadaan fithrah. Tidak ada anak yang lahir membawa keburukan dan kemaksiatan. Tidak ada yang membedakan anak-anak yang lahir di zaman sekarang dengan di masa lalu, kecuali hanya apabila perlakuan orangtua berbeda. Maka kaidah mendidik anak pun tak berubah hingga akhir zaman, sebagaimana tantangan mendidik anak pada pokoknya tetap sama. Tidak berubah. Bentuk-bentuknya saja yang berubah. Pornografi – pornoaksi misalnya, dulu ada, sekarang ada dan kelak pun ada. Bentuknya yang berbeda, tetapi prinsip pokoknya tetap sama. Maka prinsip penting dalam mendidik anak juga sama.

Kunci utama mendidik anak pun tidak bergeser, yakni tetap bertumpu pada kedua orangtuanya untuk menjadikan anaknya Yahudi, Majusi atau Nasrani. Benar, lingkungan memang dapat berpengaruh. Tetapi kunci yang paling menentukan adalah kedua orangtua. Gadget memang dapat mengubah ritme hidup anak maupun keluarga secara keseluruhan, juga dapat mengalihkan perhatian, pikiran serta kegiatan anggota keluarga. Tetapi pada mulanya adalah keluarga; sudahkah kita menyiapkan anak-anak kita agar benar-benar menjadi mumayyiz di usia 6 tahun selambatnya 7 tahun? Sudahkah kita menghidupkan hati anak sehingga pikirannya tidak sepi dari gagasan? Sudahkah kita menata jiwa mereka?

“Ya Rabb, alangkah banyak lalai kami. Ampuni kami dan baguskanlah anak-anak kami.”

Sebagian orangtua maupun pendidik secara umum beranggapan bahwa agar anak-anak tidak memperbuat hal-hal buruk, tidak pula pikiran melantur kemana-mana, maka mereka perlu diberi kesibukan fisik yang menyita hampir seluruh waktunya. Lupa bahwa kunci perubahan itu maa bin anfusihim (apa-apa yang ada pada jiwa mereka). Jika anak hanya disibukkan dengan kegiatan yang sangat padat, sementara pikiran mereka tidak produktif, maka mereka segera kehilangan inisiatif-inisiatif kebaikan begitu ada waktu kosong yang agak panjang. Bahkan sebenarnya waktu kosong itu tak begitu panjang.

Apa catatan pentingnya? Kita mempunyai tugas mengisi ruang jiwa mereka dengan keyakinan yang kuat, menghidupkan pikiran mereka sehingga senantiasa sibuk dengan kebaikan. Kaya informasi bermanfaat, pengetahuan juga penting. Tetapi ada yang jauh lebih penting dari itu semua, yakni sikap mental kita terhadapnya. Seseorang yang kaya informasi belum tentu memiliki pemahaman yang baik, belum pasti juga dapat mengambil pelajaran dengan seksama dari informasi yang ia miliki. Maka anak-anak perlu kita bekali akal yang bercahaya dan jiwa yang terarah terasah. Bukan sekedar berbanyak informasi. Lebih-lebih sekedar tumpukan data yang tidak perlu dari dunia maya, khusus media sosial.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا بِشْرٌ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ ذَكَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَعَدَ عَلَى بَعِيرِهِ وَأَمْسَكَ إِنْسَانٌ بِخِطَامِهِ أَوْ بِزِمَامِهِ قَالَ أَيُّ يَوْمٍ هَذَا فَسَكَتْنَا حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ سِوَى اسْمِهِ قَالَ أَلَيْسَ يَوْمَ النَّحْرِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَأَيُّ شَهْرٍ هَذَا فَسَكَتْنَا حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ فَقَالَ أَلَيْسَ بِذِي الْحِجَّةِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّ الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Bisyir berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Aun dari Ibnu Sirin dari Abdurrahman bin Abu Bakrah dari bapaknya, dia menuturkan, bahwa Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam duduk di atas untanya sementara orang-orang memegangi tali kekang unta tersebut. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Hari apakah ini?'. Kami semua terdiam dan menyangka bahwa Beliau akan menamakan nama lain selain nama hari yang sudah dikenal. Beliau shallaLlahu 'alaihi wa sallam berkata: "Bukankah hari ini hari Nahar?" Kami menjawab: "Benar". Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam kembali bertanya: "Bulan apakah ini? '. Kami semua terdiam dan menyangka bahwa Beliau akan menamakan nama lain selain nama bulan yang sudah dikenal. Beliau shallaLlahu 'alaihi wa sallam berkata: "Bukankah ini bulan Dzul Hijjah?" Kami menjawab: "Benar". Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian sesama kalian haram (suci) sebagaimana sucinya hari kalian ini, bulan kalian ini dan tanah kalian ini. (Maka) hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena orang yang hadir semoga dapat menyampaikan kepada orang yang lebih paham darinya". (HR. Bukhari).

Apa pelajaran pentinya? *Tahu itu berbeda dengan paham.* Mengingat dengan sempurna itu berbeda dengan mampu mengambil pelajaran. Maka jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa anak sekarang ini lebih pintar dibandingkan generasi orangtuanya. Boleh jadi mereka hanya lebih tahu, bukan lebih pintar, dibandingkan orangtuanya. Bahkan jangan-jangan tidak sedikit di antara anak-anak itu yang hanya tahu lebih banyak dalam urusan yang kita tidak tahu, sementara pengetahuannya secara keseluruhan jauh lebih sedikit dibandingkan pengetahuan yang dimiliki orangtua.

Ini bukanlah meremehkan kemampuan anak. Bukan. Saya hanya ingin mengajak agar orangtua tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan sehingga cukup tenang dirinya karena menganggap anak lebih pintar, lebih pandai. Justru kita memiliki tugas untuk menyiapkan mereka agar mampu berpikir dan mengambil pelajaran. Jika sekiranya daya pikir mereka kurang kuat, maka kita siapkan arah hidup mereka sehingga mereka memanfaatkan ingatannya untuk hal-hal yang baik. Ia menjadi penyampai kebaikan seraya mengetahui batas-batas kepatutan dirinya.

Seraya memohon pertolongan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, terutama untuk masa-masa yang telah berlalu dari anak-anak kita, mari kita perhatikan apa yang dapat menajamkan pikiran dan mata hati anak. Tengoklah misalnya surat Al-Ghasyiyah:

أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى ٱلْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ وَإِلَى ٱلسَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ وَإِلَى ٱلْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ وَإِلَى ٱلْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah, 88: 17-20).

Kita menjumpai, ada berbagai seruan maupun perintah yang serupa di dalam Al-Qur’anul Karim dengan titik tekan yang berbeda-beda. Sesudah itu, berilah peringatan, semoga tumbuh rasa takutnya kepada Allah ‘Azza wa Jalla; rasa takut yang mencegah mereka dari bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Tiba-tiba saya membayangkan, andai saja mata pelajaran sains di berbagai jenjang sekolah merupakan pintu tadabbur Al-Qur’an bagi anak-anak murid kita. Begitu pula cabang-cabang ilmu pengetahuan lain yang dikemas dalam sejumlah mata pelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar